Rabu, 23 Februari 2011

http://www.worldagroforestrycentre.org/sea/Publications/Files/book/BK0028-04/BK0028-04-3.pdf

4 Pemecahan masalah:
upaya menuju pertanian berkelanjutan
4.1 Apa yang dimaksud dengan sistem pertanian yang
berkelanjutan?
Definisi tentang sistem pertanian yang berkelanjutan (sustainability) telah
banyak dikemukakan oleh berbagai pihak, sehingga perlu ada persamaan persepsi
di antara para pembaca buku ini mengenai istilah “berkelanjutan”. Oleh karena itu
perlu adanya suatu kriteria yang disepakati bersama untuk menentukan apakah
suatu sistem pola tanam yang dilaksanakan telah memenuhi tingkat berkelanjutan.
Salah satu kriteria “sistem tanam yang berkelanjutan” yang diusulkan dalam buku ini
disajikan pada Tabel 4.1 (Van der Heide et al., 1992).
Tabel 4.1 Kriteria berkelanjutan dari suatu perkembangan pola tanam, dengan menitikberatkan
pada usaha pengendalian masalah lingkungan pada tingkat lokal, regional
dan nasional/global.
Tingkat lokal (petani)
A. Dapat mempertahankan sumber alam sebagai penunjang produksi tanaman untuk
jangka panjang, dengan cara:
- Mengontrol erosi dan memperbaiki struktur tanah
- Mempertahankan kesuburan tanah dengan cara menjaga keseimbangan hara
- Mengusahakan diversifikasi tanaman di lahannya
B. Dapat mempertahankan produktivitas lahan dengan tenaga kerja yang cukup:
- Swa-sembada penyediaan pangan, kayu bakar dan hasil sampingan lainnya
C. Dapat mengatasi risiko gagal panen akibat musim yang kurang cocok, hama, penyakit,
gulma dan turunnya harga pasaran, melalui :
- Mempertahankan diversifikasi (setiap komponen dengan kelebihannya masingmasing)
- Mampu bertahan bila mengalami kegagalan dalam produksi
D. Dapat menyediakan dan memberikan peluang untuk perbaikan dan pengembangan:
- Penelitian pada tingkat petani untuk mendapatkan teknologi yang dibutuhkan
- Paket teknologi yang cocok untuk berbagai kondisi
Tingkat Regional (desa)
E. Tidak ada efek negatif terhadap lingkungan, misalnya:
- Tidak ada erosi atau pengendapan dan pendangkalan pada sungai dan danau
- Tidak ada pencemaran air tanah maupun air permukaan
- Tidak terjadi pencemaran yang berkaitan dengan agroindustri
F. Tidak terdapat 'kelaparan' tanah (yang berkaitan dengan A dan B):
- Tidak ada perambahan terhadap sumber daya hutan dan suaka alam
4 Pemecahan Masalah

Tingkat Nasional/Global
G. Tidak ada ketergantungan terhadap sarana produksi yang berasal dari industri ataupun
bahan import
H. Tidak menimbulkan masalah emisi gas yang dapat merubah komponen iklim.
Berdasarkan kriteria yang dikemukakan Van der Heide et al., 1992 (Tabel
4.1), suatu sistem pengelolaan tanah masam dapat dikatakan berkelanjutan atau
sustainable apabila memenuhi beberapa tanda berikut:
1. Menekan penurunan produksi tanaman dari waktu ke waktu
2. Menekan gangguan gulma
3. Menekan serangan hama dan penyakit
4. Menekan erosi tanah
5. Mempertahankan keberagaman tanaman (diversifikasi)
Seperti yang telah diuraikan pada Bab 3 bahwa pada prinsipnya ada 4
masalah aktual utama pada tanah masam yaitu rendahnya kadar bahan organik
tanah dan kadar unsur hara, dangkalnya perakaran tanaman, kekeringan, gangguan
gulma alang-alang (Imperata cylindrica) serta diperparah oleh erosi dan pencucian
unsur hara. Masalah-masalah tersebut ini seringkali menyulitkan suatu usaha tani
untuk mencapai produksi yang tinggi secara berkelanjutan. Tingkat produksi yang
tinggi dapat dicapai melalui berbagai upaya yang dapat mempertahankan
kesuburan tanah yakni dengan penerapan sistem pengelolaan yang tepat.
Salah satu cara pengelolaan yang terbukti dapat mempertahankan
kesuburan tanah-tanah masam adalah dengan menanam tanaman tahunan
(pepohonan) bersama-sama dengan tanaman semusim dalam sebidang lahan yang
sama (kebun campuran, lihat bab 2 gambar 2.3). Upaya-upaya pemecahan
masalah yang ditujukan untuk mendapat produksi yang tinggi secara berkelanjutan
seharusnya dilakukan tanpa mengakibatkan kerusakan (degradasi) pada sumberdaya
lahan. Dalam hal ini perlu diperhatikan fungsi tanah sebagai media tumbuh
tanaman dan fungsi tanaman dalam meminimalkan kehilangan tanah, air dan hara.
Pengembangan pertanian pada umumnya terpusat pada usaha intensifikasi
produksi pertanian dan upaya mengatasi masalah lingkungan yang menjadi faktor
pembatas pertumbuhan tanaman. Upaya-upaya tersebut tanpa disadari telah
menciptakan permasalahan lingkungan baru, sehingga masalah yang tadinya
berskala lokal atau regional meningkat menjadi masalah nasional atau global yang
akan mempengaruhi keberlanjutan produksi tanaman.
4.2 Cara-cara penanggulangan masalah kesuburan tanah masam
Pada saat ini banyak macam usaha pengelolaan tanah masam yang dapat
ditemukan di berbagai tempat, di mana masing-masing cara berkembang sesuai
dengan kemampuan dan kondisi setempat. Upaya-upaya pengelolaan tanah
4 Pemecahan Masalah

ditujukan untuk menangani masalah-masalah yang berkaitan dengan keberlanjutan
suatu sistem usahatani, yaitu mempertahankan produksi tanaman dari waktu ke
waktu, mengontrol erosi dan mengatasi serangan hama, penyakit dan gulma (van
der Heide et al., 1992).
Pada prinsipnya ada tiga kelompok cara penanganan masalah tanah masam
yang berhubungan dengan pengelolaan kesuburan tanah dan pengendalian gulma
di tingkat masyarakat, yaitu cara kimia, cara fisik-mekanik dan cara biologi.
Masing-masing cara memiliki kelebihan dan kekurangan, sehingga dalam praktek
ketiga cara tersebut seringkali diterapkan secara bersama-sama.
4.2.1 Cara kimia
Cara kimia merupakan salah satu upaya pemecahan masalah kesuburan
tanah dengan menggunakan bahan-bahan kimia buatan. Beberapa upaya yang
sudah dikenal adalah pengapuran, pemupukan, dan penyemprotan herbisida.
A. Pengapuran
Pengapuran merupakan upaya pemberian bahan kapur ke dalam tanah
masam dengan tujuan untuk:
a) Menaikkan pH tanah
Nilai pH tanah dinaikkan sampai pada tingkat mana Al tidak bersifat racun
lagi bagi tanaman dan unsur hara tersedia dalam kondisi yang seimbang di
dalam tanah. Peningkatan pH tanah yang terjadi sebagai akibat dari
pemberian kapur, tidak dapat bertahan lama, karena tanah mempunyai sistem
penyangga, yang menyebabkan pH akan kembali ke nilai semula setelah
beberapa waktu berselang.
b) Meningkatkan Kapasitas Tukar Kation (KTK)
KTK meningkat sebagai akibat dari peningkatan pH tanah. Namun
peningkatan KTK ini juga bersifat tidak tetap, karena sistem penyangga pH
tanah tersebut di atas.
c) Menetralisir Al yang meracuni tanaman.
Karena unsur Ca bersifat tidak mudah bergerak, maka kapur harus
dibenamkan sampai mencapai kedalaman lapisan tanah yang mempunyai
konsentrasi Al tinggi. Hal ini agak sulit dilakukan di lapangan, karena
dibutuhkan tenaga dalam jumlah banyak dan menimbulkan masalah baru
yaitu pemadatan tanah. Alternatif lain adalah menambahkan dolomit (Ca,
Mg(CO3)2) yang lebih mudah bergerak, sehingga mampu mencapai lapisan
tanah bawah dan menetralkan Al.
Pemberian kapur seperti ini memerlukan pertimbangan yang seksama
mengingat pemberian Ca dan Mg akan mengganggu keseimbangan unsur hara
yang lain. Tanaman dapat tumbuh baik, jika terdapat nisbah Ca/Mg/K yang
tepat di dalam tanah. Penambahan Ca atau Mg seringkali malah
mengakibatkan tanaman menunjukkan gejala kekurangan K, walaupun jumlah
K sebenarnya sudah cukup di dalam tanah. Masalah ini menjadi semakin sulit
4 Pemecahan Masalah

dipecahkan, jika pada awalnya sudah terjadi kahat unsur K pada tanah
tersebut.
B. Pemupukan: penambahan unsur hara
Pemupukan merupakan jalan termudah dan tercepat dalam menangani
masalah kahat hara, namun bila kurang memperhatikan kaidah-kaidah
pemupukan, pupuk yang diberikan juga akan hilang percuma. Pada saat ini sudah
diketahui secara luas bahwa tanah-tanah pertanian di Indonesia terutama tanah
masam kahat unsur nitrogen (N), fosfor (P) dan kalium (K). Oleh karena itu
petani biasanya memberikan pupuk N, P, K secara sendiri-sendiri atau kombinasi
dari ketiganya. Pupuk N mudah teroksidasi, sehingga cepat menguap atau tercuci
sebelum tanaman menyerap seluruhnya. Pupuk P diperlukan dalam jumlah
banyak karena selain untuk memenuhi kebutuhan tanaman juga untuk menutup
kompleks pertukaran mineral tanah agar selalu dapat tersedia dalam larutan tanah.
Pemupukan K atau unsur hara lain dalam bentuk kation, akan banyak yang hilang
kalau diberikan sekaligus, karena tanah masam hanya mempunyai daya ikat kation
yang sangat terbatas (nilai KTK tanah-tanah masam umumnya sangat rendah).
Unsur hara yang diberikan dalam bentuk kation mudah sekali tercuci.
Supaya tujuan yang ingin dicapai melalui pemupukan dapat berhasil dengan
baik, maka harus diperhatikan hal-hal berikut:
a) Waktu pemberian pupuk
Waktu pemberian pupuk harus diperhitungkan supaya pada saat pupuk
diberikan bertepatan dengan saat tanaman membutuhkannya, yang dikenal
dengan istilah sinkronisasi (Gambar 4.1). Hal ini dimaksudkan agar tidak
banyak unsur hara yang hilang tercuci oleh aliran air, mengingat intensitas dan
curah hujan di kawasan ini sangat tinggi. Waktu pemberian pupuk yang tepat
bervariasi untuk berbagai jenis pupuk dan jenis tanamannya.
Pemupukan N untuk tanaman semusim sebaiknya diberikan paling tidak dua
kali, yaitu pada saat tanam dan pada saat pertumbuhan maksimum (sekitar 1-2
bulan setelah tanam). Sementara pupuk P dan K bisa diberikan sekali saja
yaitu pada saat tanam.
b) Penempatan Pupuk
Penempatan pupuk harus diusahakan berada dalam daerah aktivitas akar, agar
pupuk dapat diserap oleh akar tanaman secara efektif. Kesesuaian letak
pupuk dengan posisi akar tanaman disebut dengan istilah sinlokalisasi.
c) Dosis pupuk
Jumlah pupuk yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan tanaman,
supaya pupuk yang diberikan tidak banyak yang hilang percuma sehingga
dapat menekan biaya produksi serta menghindari terjadinya polusi dan
keracunan bagi tanaman.
4 Pemecahan Masalah

Waktu
Hara tersedia
Sedikit yang hilang
Sinkronisasi
Gambar 4.1
Skematis sinkronisasi antara saat
pemberiaan pupuk dengan saat
tanaman membutuhkan.
Walaupun pemupukan merupakan cara yang mudah dan cepat untuk
mengatasi permasalahan kahat hara, namun terdapat beberapa kelemahan dari
cara ini yang harus dipertimbangkan dalam merencanakan program pemupukan.
Beberapa kelemahan dari pengelolaan tanah secara kimia adalah:
· Pemupukan membutuhkan biaya tinggi karena harga pupuk mahal
· Penggunaan pupuk tidak dapat menyelesaikan masalah kerusakan fisik
dan biologi tanah, bahkan cenderung mengasamkan tanah.
· Pemupukan yang tidak tepat dan berlebihan menyebabkan pencemaran
lingkungan
C. Penyemprotan herbisida
Tumbuhan pengganggu atau gulma yang tumbuh dalam lahan yang
ditanami menyebabkan kerugian karena mengambil unsur hara dan air yang
seharusnya dapat digunakan oleh tanaman. Oleh karena itu keberadaan dan
pertumbuhan gulma harus ditekan. Cara kimia juga dipergunakan untuk menekan
pertumbuhan gulma yang banyak ditemukan pada tanah masam seperti alangalang,
yakni dengan memakai herbisida. Pemakaian herbisida harus dilakukan
secara tepat baik dalam hal jumlah (dosis), waktu dan penempatannya, demikian
pula harus disesuaikan antara macam herbisida dengan gulma yang akan
diberantas. Penggunaan herbisida yang berlebihan dapat menyebabkan bahaya
keracunan pada si pemakai dan pada produk pertanian yang dihasilkan serta
pencemaran lingkungan.
4.2.2 Cara fisik – mekanik
Penanganan secara fisik dan mekanik terutama ditujukan untuk perbaikan
media pertumbuhan perakaran, penanggulangan gulma dan usaha penekanan
erosi. Hambatan kedalaman perakaran yang disebabkan oleh adanya lapisan keras
dari kerikil (krokos = laterit) mungkin dapat diatasi dengan pembongkaran secara
mekanik dengan mengolah tanah dalam (deep plowing) misalnya dengan
menggunakan gancu untuk menghancurkan bongkahan laterit tersebut.
4 Pemecahan Masalah

Perbaikan media tumbuh tanaman melalui pengolahan tanah dapat memperbaiki
pertumbuhan akar tanaman sehingga dapat mengurangi jumlah unsur hara yang
hilang karena pencucian. Perbaikan sebaran akar tanaman juga mengurangi
kehilangan unsur hara akibat erosi dan aliran permukaan. Secara teoritis cara ini
mungkin dapat dilakukan tetapi jarang dilaksanakan di lapangan karena
membutuhkan tenaga kerja yang banyak.
Pengolahan tanah dan penyiangan gulma merupakan usaha yang sering
dilakukan petani untuk memperoleh produksi tanaman yang optimal. Pengolahan
tanah baik secara manual maupun mekanik dapat membantu menggemburkan
tanah sehingga memperbaiki perkembangan akar tanaman. Pengolahan tanah
dapat mempercepat proses dekomposisi bahan organik tanah dan mineralisasi
hara sehingga memperbaiki pertumbuhan tanaman untuk beberapa tahun. Oleh
karena proses dekomposisi bahan organik tanah berlangsung lebih cepat, maka
penambahan bahan organik harus selalu dilakukan. Jika penambahan bahan
organik dari luar tidak dilakukan, maka tanah akan mengalami pemadatan kembali
lebih cepat.
Cara lain untuk meningkatkan efisiensi penggunaan hara (pupuk) adalah
dengan menghindarkan penempatan pupuk pada jalur aliran air. Agar jumlah dan
kecepatan aliran air ke lapisan bawah (infiltrasi dan perkolasi) tidak sama diseluruh
luasan lahan, maka dapat dikembangkan adanya jalur cepat untuk aliran air atau
yang dikenal sebagai by-pass flow. Aliran cepat ini dapat melalui lubang pori kasar,
retakan tanah dan sebagainya. Jumlah dan kecepatan aliran yang melalui jalur
cepat ini lebih tinggi dibandingkan yang melalui jalur biasa, sehingga akan
mengangkut dan mencuci unsur hara yang berada dalam jangkauannya.
Sementara unsur hara yang tidak berada pada jalur aliran cepat ini dapat tertahan
lebih lama dalam lapisan tanah sehingga sempat diambil oleh akar tanaman,
Cara paling sederhana dan efektif untuk memperoleh kondisi seperti itu
adalah dengan membuat permukaan tanah tidak rata misalnya dengan guludan,
sehingga di permukaan tanah terdapat bagian yang cembung (puncak) dan cekung
(lembah). Bila terjadi hujan, maka kelebihan air di permukaan tanah yang
cembung akan segera mengalir ke bagian yang cekung, sehingga infiltrasi dan
aliran vertikal ke bawah yang melalui permukaan cembung lebih kecil jumlahnya
dibandingkan pada permukaan yang cekung. Pada musim penghujan, tanaman
ditanam di bagian puncak guludan, di mana pupuk atau bahan organik juga
ditempatkan di dekatnya (Gambar 4.2), sehingga masih berada dalam daerah
jelajah akar. Bila terjadi hujan lebat maka aliran air ke bawah (perkolasi) di bawah
permukaan guludan lebih sedikit, karena sebagian air lebih cepat mengalir di
permukaan menuju ke bagian yang lebih rendah, sehingga pupuk dapat
terselamatkan dari bahaya pencucian.
Pengolahan tanah dengan membuat guludan di satu pihak dimasudkan
untuk menekan pencucian unsur hara, tetapi di pihak lain memperbesar limpasan
permukaan. Adanya limpasan permukaan menimbulkan persoalan yang lain, yaitu
penggerusan dan pengangkutan material tanah di permukaan atau erosi. Oleh
karena itu pembuatan guludan khususnya di daerah yang berlereng harus
4 Pemecahan Masalah

memperhatikan kemungkinan adanya bahaya erosi. Disarankan agar guludan
dibuat tegak lurus dengan arah lereng untuk mengurangi kemiringan dan
memperpendek lereng, sehingga dapat mengurangi laju aliran permukaan air
terkonsentrasi di bagian cekungan (selokan).
Pengelolaan dengan cara fisik-mekanik ini juga memiliki beberapa
kelemahan dan kekurangan, di antaranya adalah:
· Pengelolaan secara fisik-mekanik biasanya memerlukan tenaga dalam
jumlah banyak dan waktu yang lama
· Tidak dapat mengatasi masalah kekurangan bahan organik tanah karena
jumlah biomas yang diangkut keluar petak lahan melalui panen sangat
banyak sementara jumlah yang dikembalikan sangat sedikit. Di lain
pihak kandungan bahan organik tanah terus menurun karena adanya
peningkatan kecepatan mineralisasi.
Gambar 4.2
Skema heterogenitas
infiltrasi air hujan
dalam tanah akibat
pembuatan guludan
4.2.3 Cara biologi
Prinsip-prinsip pengelolaan kesuburan tanah secara biologi dikembangkan
dari hasil pengalaman yang diperoleh dari sistem hutan alami di mana vegetasi
dapat tumbuh subur tanpa tambahan unsur hara dari luar. Hal ini membuktikan
bahwa pepohonan berperan penting dalam pemeliharaan kesuburan tanah.
Sistem hutan alam memiliki siklus hara yang tertutup, di mana hara yang
dipergunakan untuk pertumbuhan pohon diambil dari tanah dan pohon juga akan
mengembalikan sebagian hara tersebut ke dalam tanah melalui daun, ranting dan
cabang yang gugur. Kenyataan yang terpenting pada kondisi hutan ini adalah
bahwa jumlah kehilangan hara melalui pencucian, erosi atau aliran permukaan
sangat kecil. Oleh karena itu konsep pengelolaan tanah secara biologi adalah
meniru sistem tertutup yang dijumpai di hutan. Beberapa cara pengelolaan tanah
secara biologi ini antara lain:
4 Pemecahan Masalah

A. Mempertahankan kandungan Bahan Organik Tanah (BOT)
Seperti telah diuraikan dalam bagian depan bab ini, cara-cara kimia dan
fisik-mekanik yang dianjurkan untuk memecahkan masalah kesuburan tanah
ternyata dapat menimbulkan masalah tambahan. Kondisi ini memaksa kita untuk
mencari cara alternatif dengan memanfaatkan bahan-bahan yang ramah
lingkungan serta murah dan mudah didapat. Bahan organik memberikan
pengaruh yang menguntungkan bukan hanya pada sifat kimia, tetapi juga sifat
fisik dan biologi tanah.
Untuk mendapatkan kondisi tanah yang optimal bagi pertumbuhan
tanaman, diperlukan adanya bahan organik tanah (Ctotal) di lapisan atas paling
sedikit 2% (Young, 1989). Jumlah ini didasarkan pada taksiran kasar saja, karena
kandungan bahan organik tanah yang optimal
berhubungan erat sekali dengan kandungan
liat dan pH tanah. Untuk itu dalam
menentukan kandungan bahan organik tanah
yang optimal harus dikoreksi dengan
kandungan liat dan pH tanahnya (Creferensi atau
Cref). Perhitungan sederhana telah
dikembangkan oleh Van Noordwijk et al.
(1997) adalah sebagai berikut:
Cref = (Zcontoh/ 7.5)0.42 exp(1.333 + 0.00994*%liat + 0.00699*%debu –
0.156*pHKCl + 0.000427 * ketinggian tempat)
di mana Zcontoh = kedalaman pengambilan contoh tanah, cm
ketinggian tempat = m di atas permukaan laut.
Persamaan ini berlaku untuk semua lahan kering dan tanah volkanik muda.
Dengan demikian dapat ditetapkan kejenuhan bahan organik tanah
(Ctotal/Cref) yaitu nisbah antara kandungan total bahan organik tanah (Ctotal
atau Corg) pada kondisi sekarang dengan kandungan bahan organik tanah
yang dikoreksi (Cref). Gambar 4.3 menunjukkan hubungan antara kondisi BOT
(%) dengan kandungan liat pada tanah hutan (pH 4.0) di Sumatra (Van
Noordwijk, personal com.). Dari gambar tersebut dapat dipelajari bahwa untuk
tanah pasir BOT sejumlah 2% adalah merupakan jumlah maksimum yang dapat
diperoleh. Sedangkan untuk tanah liat, jumlah kandungan BOT sekitar 2% berarti
tanah tersebut telah kehilangan C-organik sekitar 50% dari jumlah maksimum.
Oleh karena itu target jumlah BOT 2% yang dikemukakan oleh Young (1989)
tersebut di atas menjadi terlalu tinggi untuk tanah pasir dan terlalu rendah untuk
tanah liat. Oleh karena itu target rata-rata untuk berbagai jenis tanah sebaiknya
sekitar 2.5- 4%.
· Tanah subur bila
mengandung bahan organik
tanah minimal 2.5 - 4%.
· Untuk mempertahankannya
diperlukan masukan bahan
organik minimal sebanyak 8
- 9 ton ha-1 setiap tahunnya.
4 Pemecahan Masalah

0
1
2
3
4
5
6
0 20 40 60 80 100
Kandungan liat, %
C-total, %
25 % 15 % 5 %
Kandungan lempung:
Pasir, 100 %
Gambar 4.3 Referensi kandungan C tanah hutan pada berbagai jumlah kandungan liat (%) di
Sumatra.
Sementara itu agar kondisi tanah seperti ini bisa dipertahankan, tanah
pertanian harus selalu ditambah bahan organik minimal sebanyak 8 - 9 ton ha-1
setiap tahunnya (Young, 1989). Lalu dari mana dan bagaimana mendapatkan
bahan organik untuk memenuhi kebutuhan tersebut? Berikut ini beberapa cara
yang dapat ditempuh untuk mendapatkan bahan organik:
· Pengembalian sisa panen
Jumlah sisa panenan tanaman pangan yang dapat dikembalikan ke dalam
tanah berkisar 2 - 5 ton ha-1, sehingga tidak dapat memenuhi jumlah
kebutuhan bahan organik minimum. Oleh karena itu masukan bahan
organik dari sumber lain tetap diperlukan.
· Pemberian kotoran hewan
Kotoran hewan atau pupuk kandang bisa berasal dari hewan peliharaan
seperti sapi, kerbau, kambing dan ayam, atau juga bisa berasal dari hewan
liar seperti kelelawar dan burung. Pengadaan atau penyediaan kotoran
hewan seringkali sulit dilakukan karena memerlukan tenaga dan biaya
transportasi yang banyak. Bahkan di beberapa daerah sulit didapatkan
kotoran hewan karena jumlah hewan yang dipelihara oleh penduduk sangat
sedikit.
· Pemberian pupuk hijau
Pupuk hijau bisa diperoleh dari serasah dan dari pangkasan tanaman
penutup yang ditanam selama masa bera atau pepohonan dalam larikan
sebagai tanaman pagar. Pangkasan tajuk tanaman penutup tanah dari
4 Pemecahan Masalah

keluarga kacang-kacangan (LCC = legume cover crops) dapat memberikan
masukan bahan organik sebanyak 1.8 – 2.9 ton ha-1 (umur 3 bulan) dan 2.7
– 5.9 ton ha-1 untuk yang berumur 6 bulan (Tabel 4.2).
Tabel 4.2 Total masukan berat kering tajuk (ton ha-1) tanaman penutup tanah kacangkacangan,
kandungan N dalam tanaman (%), nisbah tajuk/akar dan taksiran
masukan N-total ke dalam tanah (kg ha-1), pada saat tanaman berumur 3 dan 6
bulan.
Berat kering
ton ha-1
N
(%)
N-total
kg ha-1 Species
3 bln 6 bln 3 bln 6 bln
Nisbah
tajuk/
akar 3 bln 6 bln
Mucuna (koro benguk) 2.1 2.7 3.2 2.7 14 70 76
C. caeruleum (kacang asu) 1.8 5.8 2.9 2.9 4 66 205
C. mucunoides (kacang asu) 2.4 4.5 2.8 2.4 4 83 136
Centrosema (ki besin) 2.3 5.3 3.0 3.4 4 86 226
Crotalaria (orok-orok) 2.9 5.9 2.7 1.2 4 100 81
Rumput 1.9 4.0 1.4 1.5 5 31 35
Pada umur 3 bulan, Crotalaria (orok-orok) memberikan masukan bahan
kering tertinggi, sekitar 3 ton ha-1 dan diikuti oleh Calopogonium mucunoides (kacang
asu), Centrosema (ki besin), Mucuna (koro benguk) dengan berat tajuk sekitar 2.0 -
2.5 ton ha-1. Sementara Calopogonium caeruleum dan rumput-rumputan
menghasilkan bahan kering kurang dari 2 ton ha-1. Pada umur 6 bulan C.
caeruleum menunjukkan peningkatan produksi tajuk yang sangat besar. Crotalaria,
Centrosema dan C. caeruleum menghasilkan berat kering tajuk berkisar antara 5 - 6
ton ha-1. Mucuna memiliki masa pertumbuhan yang lebih pendek dari pada jenis
yang lain, sehingga pada umur 6 bulan tidak menunjukkan peningkatan produksi
tajuk.
Data dalam Tabel 4.2 menunjukkan bahwa usaha penanaman tanaman
penutup tanah saja tidak dapat mencukupi kebutuhan minimum untuk masukan
bahan organik sebesar 8 - 9 ton ha-1 th-1. Usaha lain untuk memperoleh tambahan
bahan organik adalah dengan menanam pepohonan berbaris sebagai pagar di
antara tanaman semusim. Tajuk tanaman pagar dipangkas secara rutin bila telah
mulai menaungi tanaman semusim. Semua hasil pangkasan dikembalikan ke
dalam petak lahan sebagai mulsa, kecuali cabang yang garis-tengahnya lebih dari 5
cm diangkut keluar lahan. Usaha pengembalian pangkasan ke dalam petak lahan
ini sebenarnya mendekati pola “siklus hara tertutup” di hutan. Sistem bercocok
tanam yang telah lama dikenal di Nusa Tenggara ini dikenal dengan sebutan
“budidaya lorong = alley cropping” atau “budidaya pagar = hedgerow intercropping”.
Hasil percobaan di Pakuan Ratu selama 5 tahun dengan menanam
beberapa jenis tanaman pagar dari keluarga leguminosa membuktikan bahwa
Calliandra dapat memberikan hasil biomas tertinggi dibanding jenis pohon lainnya
yang diuji (Tabel 4.3), sedang dadap minyak (Erythrina) memberikan hasil terendah.
Gamal (Gliricidia) dan petaian (Peltophorum) atau kombinasi keduanya dapat
4 Pemecahan Masalah

memenuhi target masukan bahan organik ke dalam tanah dengan jumlah produksi
rata-rata 8 ton ha-1 setiap tahunnya. Masukan N yang berasal dari bahan organik
ini ke dalam tanah berkisar antara 100 - 270 kg N ha-1. Bila ditinjau dari besarnya
masukan bahan organik asal pangkasan ini, nampaknya sistem budidaya pagar
dapat memberikan harapan baru bagi petani dalam mengelola kesuburan tanah di
lahannya. Tetapi sistem ini tampaknya kurang diminati atau disukai petani. Pada
Bab 5 buku ini, sistem budidaya lorong akan dibahas secara lebih rinci.
Tabel 4.3 Total masukan biomas tajuk rata-rata per tahun yang merupakan hasil pangkasan
rata-rata tiga kali setahun, kandungan N daun dan total masukan N ke dalam
tanah.
Jenis tanaman Berat Kering
Tajuk (ton ha-1)
N
(%)
N-total
(kg ha-1)
Dadap (Erythrina) 4.5 2.4 108
Lamtoro (Leucaena) 6.0 3.0 180
Gamal (Gliricidia) 8.0 2.9 232
Petaian (Peltophorum) 8.0 1.7 136
Gamal/petaian 8.0 2.7 216
Calliandra 10.0 2.7 270
Fungsi Bahan Organik Tanah (BOT)
Peranan bahan organik yang sangat dibutuhkan adalah untuk menambah
unsur hara dan meningkatkan kapasitas tukar kation (penyangga hara = buffer).
Meningkatnya kapasitas tukar kation tanah ini dapat mengurangi kehilangan unsur
hara yang ditambahkan melalui pemupukan, sehingga dapat meningkatkan
efisiensi pemupukan. Penambahan bahan organik pada tanah-tanah Ultisols
berpasir di Pakuan Ratu ternyata dapat meningkatkan daya menahan air tanah.
Bahan organik mampu mengikat air dalam jumlah yang besar, sehingga dapat
mengurangi jumlah air yang hilang
Tingginya kandungan bahan organik tanah dapat mempertahankan kualitas
sifat fisik tanah sehingga membantu perkembangan akar tanaman dan kelancaran
siklus air tanah antara lain melalui pembentukan pori tanah dan kemantapan
agregat tanah. Dengan demikian jumlah air hujan yang dapat masuk ke dalam
tanah (infiltrasi) semakin meningkat sehingga mengurangi aliran permukaan dan
erosi.
Bahan organik tanah juga memberikan manfaat biologi melalui penyediaaan
energi bagi berlangsungnya aktivitas organisma, sehingga meningkatkan kegiatan
organisma mikro maupun makro di dalam tanah.
Teknik penggantian fungsi BOT
Untuk tujuan pengembalian kesuburan tanah terutama yang berhubungan
dengan penyediaan unsur hara, fungsi bahan organik dapat digantikan dengan
4 Pemecahan Masalah

penambahan pupuk anorganik (Gambar 4.4). Pada sistem pertanian dengan
masukan rendah, bahan organik mutlak diperlukan dan pengadaannya tergantung
pada masukan dari luar tanah seperti dari sisa-sisa hewan, tanaman dan manusia.
Semakin canggih suatu sistem pertanian semakin berkurang ketergantungannya
terhadap BOT.
Pemupukan
Pemupukan bertahap
Pengapuran
Irigasi
Pengolahan tanah
Media artificial
Fumigasi -
dsb
Supply hara
Buffer hara
Buffer air
Struktur tanah
Lain 2x,
Hama dll
Fungsi BOT: Teknologi Alternatif :
Tebang +bakar
Ladang
berpindah
Budidaya
tanam :
Hidroponik
intensifikasi hortikultura
Gambar 4.4. Hubungan skematis antara fungsi bahan organik tanah dengan berbagai sistem
pertanian dan teknologi alternatif.
Pada sistem pertanian yang canggih (masukan tinggi), beberapa fungsi
bahan organik seperti penyangga hara, penahan air, perbaikan struktur tanah dan
pengendali hama dan penyakit, dapat dimanipulasi dengan teknologi pemupukan,
irigasi, pemanfaatan soil conditioner dan penyemprotan insektisida.
Pengukuran kandungan BOT
Indikasi penurunan BOT biasanya diukur dari kadar C-total dan N-total
sehingga diperoleh nilai nisbah C/N, yang selanjutnya dapat dipakai untuk
menaksir ketersedian hara dari mineralisasi bahan organik. Namun penelitian
terakhir membuktikan bahwa kadar C-total bukan merupakan tolok ukur yang
akurat, karena hasil dari pengukuran tersebut termasuk BOT stabil. Menurut
Woomer et al. (1994) BOT dibagi dalam beberapa kelompok menurut umur paruh
dan komposisinya (Tabel 4.4). Umur paruh BOT tersebut ditaksir melalui
simulasi model CENTURY (Parton et al., 1987). Dari Tabel 4.4 dapat dilihat bahwa
BOT lambat lapuk dan pasif (stabil) berada dalam tanah sejak puluhan bahkan
mungkin ratusan tahun yang lalu. Kelompok ini meliputi asam-asam organik dan
bahan organik yang terjerap kuat oleh liat yang tidak tersedia bagi tanaman dan biota.
Penetapan kandungan C-total dengan metoda Walkey & Black adalah mengukur
semua kelompok BOT baik yang masih baru maupun yang sudah lama. Hasil
penetapan itu tidak dapat dipergunakan untuk studi dinamika BOT pada berbagai
sistem pengelolaan lahan karena hasilnya tidak akan menunjukkan perbedaan yang
4 Pemecahan Masalah

jelas. Untuk itu diperlukan sebagai tolok ukur adalah kandungan fraksi-fraksi BOT
tersebut.
Tabel 4.4 Pengelompokan BOT berdasarkan umur paruh yang ditaksir melalui simulasi
model CENTURY (Parton et al., 1987) dan komposisi kimianya (Woomer et al.,
1994)
Kelompok Bahan Organik
Tanah
Umur paruh
(tahun)
Komposisi Nama lain
Bahan organik metabolis
(Metabolic litter)
0.1 - 0.5 Isi sel, selulosa Sisa hewan,
tanaman &
manusia
Bahan organik struktural
(Structural litter)
0.3 - 2.1 Lignin, polyfenol Sisa tanaman
Bahan organik aktif
(Active pool)
0.2 - 1.4 Biomasa mikrobia,
Karbohidrat mudah larut,
enzym exocellular
Fraksi labil
Bahan organik lambat lapuk
(Slow pool)
8 – 50 Bahan organik ukuran
partikel (50 mm -2.0 mm)
Fraksi labil
Bahan organik pasif
(Passive pool)
400 – 2200 Asam-asam humik dan
fulvik, kompleks organomineral
(bahan organik
yang terjerap kuat oleh
mineral liat)
Substansi
humus atau
Fraksi stabil
Pada prinsipnya (berdasarkan fungsinya) bahan organik tersusun dari
komponen labil dan stabil, komponen labil terdiri dari bahan yang sangat cepat
didekomposisi pada awal proses mineralisasi dan akumulasi dari recalcitrant residue
(residu yang tahan terhadap pelapukan) yang merupakan sisa dari proses
mineralisasi yang terdahulu. Umur paruh (turnover = waktu yang dibutuhkan
untuk mendekomposisi bahan organik sampai habis) dari fraksi labil dan stabil ini
bervariasi bisa beberapa bulan saja tetapi juga bisa ribuan tahun. Hasil percobaan
menggunakan isotop menunjukkan bahwa fraksi BOT dapat sangat stabil dalam
tanah sampai lebih dari 9.000 tahun. Sekitar 60-80% BOT dalam tanah-tanah
pada umumnya terdiri dari substansi humus.
Fraksi labil
Fraksi labil terdiri dari bahan yang mudah didekomposisi berkisar dari
beberapa hari sampai beberapa tahun. Komponen BOT labil terdiri dari 3
kelompok:
a. Bahan yang paling labil adalah bagian seluler tanaman seperti karbohidrat,
asam amino, peptida, gula-amino, dan lipida.
b. Bahan yang agak lambat didekomposisi seperti malam (waxes), lemak, resin,
lignin dan hemiselulosa.
c. Biomass dan bahan metabolis dari mikrobia (microbial biomass) dan bahan
residu recalcitrant lainnya.
4 Pemecahan Masalah

Fraksi labil berperanan sangat penting dalam mempertahankan kesuburan
tanah yaitu sebagai sumber hara tanaman karena komposisi kimia bahan asalnya
dan tingkat dekomposisinya yang cepat. Biomas mikrobia sangat penting dalam
mempertahankan status BOT yang berperanan sebagai “source” (sumber) dan
“sink” (penyerap) bagi ketersediaan hara karena daur hidupnya relatif singkat.
Faktor iklim makro yang menentukan kecepatan dekomposisi fraksi adalah
temperatur dan kelembaban tanah serta keseimbangan biomas mikrobia. Di
daerah tropika basah yang memiliki resim temperatur isothermik atau
isohiperthermik dan ketersediaan air tanah yang beragam sangat menentukan
perkembangan populasi mikrobia tanah sehingga berpengaruh besar tehadap
kecepatan dekomposisi komponen labil BO.
Substansi humik: fraksi stabil
Komponen BOT yang paling sulit dilapuk adalah asam-asam humik,
merupakan hasil pelapukan seresah (substansi organik menyerupai lignin) atau
kondensasi substansi organik terlarut yang dibebaskan melalui dekomposisi gula,
asam amino, polifenol dan lignin. Jadi bisa dikatakan bahwa substansi humik
adalah produk akhir dekomposisi BOT oleh mikrobia.
Ketahanan susbstansi humik terhadap proses dekomposisi disebabkan
konfigurasi fisik maupun struktur kimia yang sulit dipecahkan oleh mikrobia.
Substansi ini secara fisik terikat kuat dengan liat dan koloidal tanah lainnya, atau
dapat juga karena letaknya di dalam agregat-mikro (Hassink, 1995; Matus, 1994)
dan ditambah lagi dengan adanya hyphae ataupun akar-akar halus.
Kontribusi substansi humik terhadap ketersediaan hara masih belum
banyak diketahui, karena waktu turnover-nya yang terlalu panjang. Namun
demikian pool stabil dari bahan organik ini tetap memegang peranan penting
sebagai biological ameliorant terhadap unsur-beracun bagi tanaman, juga sangat
berperanan dalam pembentukan agregat tanah dan pengikatan kation dalam
tanah. Peranan sebagai pengikat kation lebih diutamakan karena pada tanahtanah
masam BOT merupakan satu-satunya fraksi tanah bermuatan positif.
Keragaman hayati komponen organik tanah
Seperti diketahui bahan organik tanah tersusun dari berbagai komponen
baik yang masih hidup maupun yang sudah mati. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa C-organik hidup sekitar 4% dari total C-tanah yang terdiri dari akar-akar
halus, mikrobia dan fauna tanah. C-organik mati terutama terdiri dari seresah
pada permukaan tanah (surface litter), seresah akar, sisa-sisa metabolik
mikrorganisma dan substansi humik. C-organik hidup dan C-organik mati saling
berinteraksi, termasuk organisma saprofitik yang membutuhkan C-organik mati
untuk kebutuhan metabolismanya.
4 Pemecahan Masalah

Fraksionasi BOT sebagai tolok ukur perubahan kandungan BOT
Banyak penelitian yang mengevaluasi teknik fraksionasi BOT baik
berdasarkan berat jenis (BJ) maupun ukuran partikel yang dilakukan pada daerahdaerah
beriklim dingin (temperate), namun masih baru untuk daerah tropis.
Penetapan fraksi BOT secara fisik yaitu berdasarkan berat jenis (BJ) dan ukuran
partikel terbukti dapat memberikan hasil yang lebih baik karena teknik ini mampu
mengelompokkan BOT berdasarkan struktur dan fungsinya secara biologis. Pada
prinsipnya fraksionasi BOT secara fisik ini memisahkan bahan organik dengan
partikel tanah. Hasil penetapan fraksi BOT di daerah Pakuan Ratu dapat dilihat
pada Contoh Kasus 4.1.
Bagaimana memilih bahan organik yang tepat?
Pemberian bahan organik ke dalam tanah seringkali memberikan hasil yang
kurang memuaskan, sehingga banyak petani tidak tertarik untuk melakukannya.
Hal ini disebabkan kurangnya dasar pengetahuan dalam memilih jenis bahan
organik yang tepat. Pemilihan jenis bahan organik sangat ditentukan oleh tujuan
pemberian bahan organik tersebut. Tujuan pemberian bahan organik bisa untuk
penambahan hara atau perbaikan sifat fisik seperti mempertahankan kelembaban
tanah yaitu sebagai mulsa. Pertimbangan pemilihan jenis bahan organik
didasarkan pada kecepatan dekomposisi atau melapuknya. Bila bahan organik
akan dipergunakan sebagai mulsa, maka jenis bahan organik yang dipilih adalah
dari jenis yang lambat lapuk. Apabila digunakan untuk tujuan pemupukan bisa
dari jenis yang lambat maupun yang cepat lapuk.
Kecepatan pelapukan suatu jenis bahan organik ditentukan oleh kualitas
bahan organik tersebut. Sedangkan kualitasnya ditetapkan dengan menggunakan
seperangkat tolok ukur, di mana untuk setiap jenis unsur hara tolok ukur tersebut
bisa berbeda-beda.
· Kualitas bahan organik
berkaitan dengan penyediaan
unsur N, ditentukan oleh
besarnya kandungan N, lignin
dan polifenol. Bahan organik
dikatakan berkualitas tinggi bila
kandungan N tinggi,
konsentrasi lignin dan polifenol
rendah. Yang juga penting
adalah memiliki sinkronisasi
pelepasan hara dengan saat
tanaman membutuhkannya. Nilai kritis konsentrasi N adalah 1.9%;
lignin > 15% dan polifenol > 2%.
Kualitas bahan organik
· Penyediaan N: Nilai kritis
konsentrasi N adalah 1.9%; lignin
> 15% dan polifenol > 2%.
· Penyediaan P: Konsentrasi P
dalam bahan organik. Nilai kritis
adalah 0.25%.
· Detoksifikasi Al; Total
konsentrasi kation yaitu K, Ca,
Mg dan Na. Nilai kritis total
konsentrasi kation > 50 cmol kg-1.
4 Pemecahan Masalah

· Kualitas bahan organik berkaitan dengan penyediaan unsur P
ditentukan oleh konsentrasi P dalam bahan organik. Nilai kritis kadar P
dalam bahan organik adalah 0.25%.
· Kualitas bahan organik berkaitan dengan detoksifikasi Al.
Bahan organik mampu menetralisir pengaruh racun dari aluminium
sehingga menjadi tidak beracun lagi bagi akar tanaman. Kemampuan
merubah pengaruh suatu zat beracun menjadi tidak beracun ini disebut
dengan detoksifikasi. Kualitas bahan organik berkaitan dengan
Contoh Kasus 4.1
Dinamika bahan organik tanah setelah konversi hutan menjadi lahan tebu
Konversi hutan menjadi perkebunan tebu di kawasan Pakuan Ratu sangat mempengaruhi
kandungan BOT, karena jumlah dan kualitas masukan yang sangat berbeda. Studi dinamika C
dilakukan pada hutan sekunder dibandingkan dengan lahan tebu pada berbagai umur lahan
setelah pembakaran hutan (Hairiah et al., 1995). Untuk ini dilakukan pengukuran C-total dan
berat kering fraksi BOT dalam suspensi silikat (LUDOX). Hasilnya disajikan pada Gambar
4.5. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa konversi hutan menjadi lahan tebu
menurunkan kandungan BOT baik ditinjau dari segi C-total maupun berat kering fraksi BOT
(sumbu Y1) dalam suspensi LUDOX. Namun pada hasil penetapan C-total (sumbu Y2) masih
terlihat variasi yang cukup besar, sedangkan dengan penetapan fraksi BOT terjadi penurunan
BOT yang jelas pada waktu satu tahun setelah pembukaan hutan. Hal ini menunjukkan bahwa
untuk tujuan penetapan cadangan BOT, pengukuran C-total tanah sudah cukup. Namun
untuk tujuan mempelajari proses dinamika C dalam tanah penetapan C-total saja masih perlu
ditambah dengan penetapan fraksi BOT.
trend
C-total Ringan Sedang Berat
BK fraksi BOT, g kg-1
Waktu diusahakan sebagai lahan tebu, tahun
C-total, %
Gambar 4.5 Kandungan bahan organik tanah (BOT) pada hutan (0 tahun) dan lahan tebu
pada berbagai umur (2-10 tahun) setelah pembakaran hutan.
4 Pemecahan Masalah

kemampuan dalam mendetoksifikasi ditentukan dengan tolok ukur total
konsentrasi kation K, Ca, Mg dan Na. Pelepasan kation-kation tersebut
dari hasil dekomposisi bahan organik dapat menekan kelarutan Al
melalui peningkatan pH tanah.
Bahan organik yang mempunyai total konsentrasi kation > 60 cmol kg-1
merupakan bahan organik yang berpotensi untuk tujuan pengurangan
efek beracun Al. Semakin tinggi nilai total konsentrasi kation suatu
bahan organik semakin kuat kemampuannya dalam mengurangi efek
beracun Al. Namun ada beberapa jenis tanaman yang mampu
mengurangi efek beracun Al walaupun nilai total konsentrasi kationnya
tidak terlalu tinggi. Misalnya gamal (Gliricidia) memiliki total
konsentrasi kation sekitar 52 cmol kg-1. Penambahan bahan organik
berasal dari gamal sebanyak 10 ton ha-1 pada tanah di Lampung Utara
dapat menekan Al yang meracun bagi tanaman (Al-monomerik) sampai
serendah 2.87 mmol, di mana nilai ini telah berada di bawah batas ambang
toleransi akar tanaman jagung. Nampaknya peningkatan konsentrasi
asam-asam organik terlarut selama proses mineralisasi juga harus
dipertimbangkan, terutama asam fulvat yang dapat menekan kelarutan
Al-anorganik monomerik.
Hasil analisis beberapa variabel yang dipakai sebagai tolok ukur kualitas
bahan organik akan sangat membantu petani dalam memilih jenis bahan organik
yang sesuai dengan kebutuhannya. Informasi tentang hal ini disajikan dalam Bab
5 Tabel 5.4.
Pemberian bahan organik untuk menambah N dan unsur hara lain
Penambahan bahan organik ke dalam tanah baik melalui pengembalian sisa
panen, kompos, pangkasan tanaman penutup tanah dan sebagainya dapat
memperbaiki cadangan total bahan organik tanah (capital store C). Praktek pertanian
secara terus-menerus akan mengurangi cadangan total C dan N dalam tanah.
Namun apabila ada pemberaan maka secara bertahap kondisi tersebut akan pulih
kembali. Dari semua unsur hara, unsur N dibutuhkan dalam jumlah paling
banyak tetapi ketersediannya selalu rendah, karena mobilitasnya dalam tanah
sangat tinggi. Kemampuan tanah dalam menyediakan hara N sangat ditentukan
oleh kondisi dan jumlah bahan organik tanah. Ada tiga bentuk cadangan N (Ncapital),
yaitu:
· Cadangan N yang selalu berubah, yaitu mineral-N (NH4+ dan
NO3). Bentuk ini dapat diibaratkan seperti uang tunai dalam saku, yang
tersedia sehingga mudah dipergunakan sewaktu-waktu. Jadi bentuk N
ini mudah hilang dari dalam tanah.
· Cadangan N jangka pendek hingga sedang, yaitu N yang
terkandung di dalam bahan organik tanah. Bentuk N ini dapat
diibaratkan sebagai gaji bulanan atau tahunan, yang tersedia setelah
4 Pemecahan Masalah

jangka waktu tertentu. Unsur hara N berasal dari bahan organik tanah
yang dapat termineralisasi dalam jangka pendek (beberapa bulan)
sampai sedang (antara 1-5 tahun).
· Cadangan N jangka panjang (10 tahun), dapat diibaratkan simpanan
batangan emas di Bank, adalah bentuk N dalam bahan organik yang
sangat sulit lapuk (recalcitrant).
Tiga sumber utama N tanah berasal
dari bahan organik tanah, N tertambat dari
udara bebas oleh tanaman kacang-kacangan
(legume) yang bersimbiosis dengan bakteri
rhizobium dan dari pupuk anorganik.
Pelapukan bahan organik di daerah tropika
sangat cepat mengakibatkan N juga cepat
dilepas dalam bentuk N-anorganik yang
mudah tersedia bagi tanaman. Unsur N
yang tersedia dalam jumlah besar ini tidak
menjamin tercapainya produksi tanaman
yang optimum! Hasil-hasil penelitian di
Pakuan Ratu menunjukkan bahwa
penambahan bahan organik asal famili kacang-kacangan (legume) dapat
melepaskan hara N sekitar 20 - 45% dari jumlah total N yang terkandung di
dalamnya (Handayanto et al., 1994) selama satu siklus tanaman semusim.
Dari jumlah yang dilepaskan ternyata hanya sekitar 30% nya yang dapat
dimanfaatkan oleh tanaman semusim.
Timbul pertanyaan: mengapa hanya sedikit hara yang dapat dimanfaatkan
oleh tanaman semusim? Sebab saat tersedianya N dalam tanah tidak bertepatan
dengan saat tanaman membutuhkannya, yang selanjutnya disebut rendahnya
sinkronisasi antara ketersediaan hara dan kebutuhan tanaman. Tingkat
sinkronisasi ini ditentukan oleh kecepatan dekomposisi (melapuk) dan
mineralisasi (pelepasan unsur hara) bahan organik. Sementara itu kecepatan
melapuk bahan organik ditentukan oleh berbagai faktor antara lain kelembaban,
suhu tanah dan kualitas bahan organik. Gambar 4.6 memberikan ilustrasi secara
skematis tentang sinkronisasi dari berbagai kualitas masukan bahan organik.
Bahan organik berkualitas tinggi akan cepat dilapuk dan akibatnya unsur
hara (misalnya N) dilepaskan dengan cepat menjadi bentuk tersedia. Jika yang
ditanam adalah tanaman yang lambat pertumbuhannya, maka pada saat bahan
organik dilapuk dan unsur hara N dilepaskan dalam jumlah maksimal, ternyata
tanaman belum membutuhkan N dalam jumlah banyak. Dengan kata lain terjadi
kelebihan N tersedia tetapi tidak bisa dimanfaatkan oleh tanaman, sehingga N
yang berlebih ini dapat hilang melalui pencucian dan penguapan (Gambar 4.6.a).
Selanjutnya pada saat tanaman tersebut membutuhkan N dalam jumlah banyak
(ketika mencapai fase pertumbuhan cepat), ternyata N tersedia dalam tanah sudah
tidak mencukupi lagi. Pengaruh yang berbeda akan dijumpai apabila bahan
Contoh
Tanaman pagar gamal (Tabel 2.3.)
mengandung N sekitar 180 kg ha-1.
Jumlah N yang dapat dilepaskan ke
dalam tanah berkisar antara 36 - 81
kg ha-1 (20 – 45%)
Jumlah N yang diserap oleh
tanaman semusim yang ditanam di
antara baris tanaman pagar
diperkirakan hanya 10 - 24 kg ha-1 (5
– 13%)
4 Pemecahan Masalah

organik yang berkualitas rendah diberikan pada tanaman yang pertumbuhannya
cepat. Pada saat tanaman membutuhkan unsur N dalam jumlah banyak, bahan
organik belum termineralisasi, sehingga N tersedia dalam tanah tidak cukup.
Dalam hal ini terjadi tingkat sinkronisasi rendah, di mana penyediaan hara lambat
sementara tanaman telah membutuhkannya, sehingga terjadi kekahatan hara
(Gambar 4.6.b).
Gambar 4.6 Skematis sinkronisasi saat ketersediaan hara dari hasil mineralisasi dengan saat
tanaman membutuhkannya pada berbagai macam masukan bahan organik (a)
kualitas tinggi, (b) kualitas rendah, (c) campuran kualitas tinggi dan rendah dan
(d) tanpa masukan bahan seresah (Myers et al., 1995).
Idealnya, tanaman pagar harus mampu menghasilkan seresah dengan
kemampuan melapuk cukup lambat untuk menekan kehilangan N yang
dilepaskan, tetapi cukup cepat untuk menjamin ketersediaan N pada saat
dibutuhkan tanaman. Kenyataannya, sangat sulit menemukan pohon yang
memiliki sifat ideal seperti ini. Untuk mengatasi masalah ini, biasanya pohon
dengan serasah yang cepat melapuk ditanam bersama-sama dengan pohon yang
memiliki serasah lambat lapuk (Gambar 4.6.c).
Bila tidak ada masukan bahan organik ke dalam tanah (Gambar 4.6.d), akan
terjadi masalah pencucian dan sekaligus kelambatan penyediaan hara. Pada
kondisi seperti ini penyediaan hara hanya terjadi dari mineralisasi bahan organik
yang masih terdapat dalam tanah, sehingga mengakibatkan cadangan total C tanah
semakin berkurang.
Bagaimana menerapkan hasil penelitian ke lapangan?
Penelitian tentang dasar-dasar pengelolaan bahan organik sudah banyak
dilakukan dan hasilnya telah dipublikasikan secara luas. Hasil penelitian tersebut
4 Pemecahan Masalah

seharusnya dapat dimanfaatkan oleh para praktisi untuk bahan pertimbangan
dalam mengambil keputusan pengelolaan bahan organik. Hal ini dapat dilakukan
apabila para praktisi mampu menterjemahkan data hasil penelitian tersebut
menjadi tindakan praktis. Oleh sebab itu berikut ini dikutip salah satu prosedur
sederhana dan ringkas yang bisa menuntun kita dalam mengambil keputusan
pengelolaan bahan organik bila tersedia data karakteristik kimia bahan
bersangkutan, yaitu kandungan N, lignin dan polyphenol (Gambar 4.6.a).
Jika kita berhadapan dengan suatu bahan organik disertai informasi
karakteristik kimianya (data analisis kimia), maka kita bisa mengikuti langkahlangkah
berikut ini:
1. Bila kandungan N > 2,5%, bahan organik ini dikatakan berkualitas tinggi, maka
ada dua kemunginan:
a) Bila kandungan lignin < 15% dan polyphenol < 4%, maka: - Bahan organik tersebut dibenamkan bersamaan dengan saat tanam tanaman semusim, sebagai pupuk in-situ. - Bahan organik tersebut jangan dicampur dengan pupuk atau bahan organik berkualitas tinggi, karena akan hilang percuma. b) Bila kandungan lignin > 15%:
- Bahan organik tersebut dicampur dengan pupuk atau bahan organik
lain yang berkualitas tinggi (kandungan N > 2,5%)
2. Bila kandungan N < 2,5%, dibagi dua kelompok berdasarkan kandungan ligninnya: a) Bila kandungan lignin < 15%, maka direkomendasikan: - Bahan organik tersebut dicampur dengan pupuk atau ditambahkan pada kompos. - Bahan tersebut jangan disebar pada permukaan tanah untuk menekan evaporasi dan erosi, karena cepat melapuk sehingga cepat hilang dan tidak dapat menjaga kondisi air tanah. b) Bila kandungan lignin > 15%, maka:
- Bahan organik ini dapat disebar pada permukaan tanah sebagai mulsa
untuk menekan evaporasi dan erosi
Prosedur sederhana untuk menentukan cara pengelolaan bahan organik
yang tepat seperti contoh di atas (Gambar 4.7.a) sebenarnya dapat dikembangkan
sendiri oleh para praktisi dan petani berdasarkan pengetahuan dan pengalaman
yang dimiliki, karena tidak semua kasus bisa mengikuti pola aturan ilmiah di atas.
Sebagai contoh, sebuah pedoman serupa dikembangkan oleh petani di Zimbabwe
berdasarkan pengalaman dan kebutuhan mereka (Giller, 1999). Pedoman ini
didasarkan pada karakteristik bahan secara sederhana yaitu warna daun (Gambar
4.7.b). Penggunaan pedoman ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
Bahan organik seresah dipisahkan dalam dua kelompok besar berdasarkan warna
daun yang dominan:
1. Bila daun berwarna hijau, ada dua kelompok:
4 Pemecahan Masalah

a) Apabila daun tidak berserat dan mudah hancur, terasa sangat kelat (Bah.
Jawa: sepet), maka direkomendasikan:
- Bahan organik tersebut dapat dibenamkan in-situ bersamaan dengan
waktu tanam tanaman semusim.
b) Apabila daun berserat dan tidak mudah hancur, tidak terasa kelat, maka
direkomendasikan:
- Bahan organik tersebut jangan dibenamkan in-situ bersamaan dengan
waktu tanam tanaman semusim.
- Bahan tersebut sebaiknya dicampur dengan pupuk atau bahan organik
lain yang berkualitas tinggi
2. Bila daun berwarna kuning dipisahkan menjadi dua kelompok:
a) Apabila mudah hancur seperti tepung, maka direkomendasikan:
- Bahan organik tersebut dicampur dengan pupuk atau ditambahkan
pada kompos.
- Bahan organik tersebut jangan disebar pada permukaan tanah sebagai
mulsa karena bahan organik cepat melapuk sehingga tidak dapat untuk
menekan evaporasi dan erosi.
b) Apabila tidak mudah hancur bila kering, maka direkomendasikan:
- Bahan organik tersebut dapat disebar pada permukaan tanah sebagai
mulsa untuk menekan evaporasi dan erosi.
Karakteristik Bahan Organik
N > 2.5 %
Lignin < 15%
Polyphenols < 4%
Lignin < 15%
Dibenamkan bersamaan
dng. saat tanam tanaman
semusim
Dicampur dng.
pupuk atau BO
kualitas tinggi
Dicampur dng. pupuk
atau ditambahkan pd
kompos
Disebar pada permukaan
tanah utk. menekan
evaporasi dan erosi
Ya Tidak
Ya Ya
Warna daun
Daun berserat (tidak hancur)
Rasanya sangat kelat
Daun hancur seperti tepung bila kering
Dibenamkan bersamaan
dng. saat tanam tanaman
semusim
Dicampur dng.
pupuk atau BO
kualitas tinggi
Dicampur dng. pupuk
atau ditambahkan pd
kompos
Disebar pada permukaan
tanah utk. menekan
evaporasi dan erosi
Ya Ya
Tidak Tidak
Tidak Tidak
(b)
(a)
Hijau Kuning
Gambar 4.7 Alur pengambilan keputusan pengelolaan bahan organik pada sistem pertanian.
(a) Kualitas bahan organik berdasarkan data analisis komposisi kimia (b)
berdasarkan pengalaman praktis pada tingkat petani (Giller, 1999).
4 Pemecahan Masalah

Setelah mengenal prinsip-prinsip dasar kualitas bahan organik maka faktor
lain yang harus dipertimbangkan adalah curah hujan. Risiko kehilangan hara
tertinggi terjadi pada musim penghujan karena hara tersebut tercuci bersama
dengan aliran air ke bawah (perkolasi), akibat curah hujan yang tinggi. Untuk
menekan kehilangan hara akibat pencucian ini, perlu diatur strategi pemberian
yang didasarkan pada pertimbangan jenis bahan organik atau kecepatan
melapuknya, jenis tanaman yang ditanam dan kalender musim. Pengalaman
penelitian di Lampung Utara yang dituangkan dalam Gambar 4.8. dapat
dipergunakan sebagai contoh untuk mempertimbangkan pemilihan cara-cara
pengelolaan bahan organik.
Sisa-sisa panenan yang cepat lapuk (misalnya tanaman penutup tanah dan
kedelai) sebaiknya diberikan pada awal dan akhir musim penghujan.
Pembenaman sisa panenan jagung dan kedelai dan tanaman penutup tanah pada
akhir musim penghujan memberikan keuntungan pada tanaman jagung yang
ditanam pada awal musim penghujan berikutnya. Jerami jagung lambat lapuk
sedangkan jerami kedelai dan tanaman penutup tanah cepat lapuk, namun selama
musim kemarau dekompisisi dan mineralisasi hara dari campuran bahan organik
ini berjalan sangat lambat dan risiko pencucian kecil. Dengan demikian strategi
ini cukup menguntungkan bagi petani.
Gambar 4.8 Waktu pemberian bahan organik dengan mempertimbangkan faktor kualitas
bahan organik dan musim penghujan di Lampung Utara (modifikasi dari
Handayanto dan Ismunandar, 1999).
Dalam kaitannya dengan pengelolaan bahan organik tanah, timbul
pertanyaan berikut “Apakah pengelolaan N tanah harus dipusatkan pada usaha
mempertahankan kandungan bahan organik tanah guna meningkatkan efisiensi serapan N
oleh tanaman atau cukup dengan pengaturan saat ketersediaan N baik dari bahan organik
4 Pemecahan Masalah

maupun pupuk buatan bertepatan dengan saat tanaman membutuhkannya?”. Jawabannya
adalah kedua-duanya diperlukan !! Adanya pengembalian bahan organik ke dalam
tanah dan pengaturan saat pelepasan N berarti ada upaya restorasi kondisi tanah
yang berkaitan dengan cadangan N.
B. Menjaring unsur hara
Salah satu permasalahan yang sangat merugikan usaha tani pada tanah
masam adalah rendahnya efisiensi pemupukan akibat proses pencucian unsur hara
yang sangat tinggi. Hal ini terjadi karena perakaran tanaman semusim umumnya
tersebar pada lapisan atas yang sangat dangkal, sehingga adanya hujan yang tinggi
menyebabkan unsur hara yang diberikan dalam bentuk pupuk cepat sekali terbawa
ke lapisan yang lebih dalam. Unsur hara yang masuk ke lapisan bawah sudah di
luar jangkauan akar tanaman semusim, sehingga dapat dikatakan “hilang” karena
tidak dapat dimanfaatkan. Unsur hara yang hilang ini perlu diselamatkan agar
efisiensi penggunaan pupuk dapat ditingkatkan sehingga dapat meningkatkan
keuntungan usaha tani di tanah masam.
Memilih tanaman berperakaran dalam
Curah hujan yang tinggi mengakibatkan banyak hara yang hilang terbawa
aliran air ke lapisan bawah dan ke samping sehingga kemasaman tanah meningkat,
kemudian timbul masalah keracunan Al. Pada umumnya konsentrasi Al di lapisan
bawah lebih tinggi dari pada di lapisan tanah atas, sehingga akar tanaman
cenderung menghindari Al yang beracun tersebut dengan membentuk perakaran
yang hanya menyebar di lapisan atas. Akibat berikutnya, akar tanaman semusim
yang menderita keracunan Al tersebut tidak dapat menyerap unsur hara secara
optimal, juga tidak dapat menyerap unsur hara yang berada di lapisan bawah.
Tumpangsari antara tanaman semusim dengan pohon dapat
menyelamatkan unsur hara yang tercuci ke lapisan bawah, karena akar pepohonan
yang umumnya tumbuh lebih dalam dapat menyerap unsur hara tersebut (Gambar
4.9). Semakin dalam dan berkembang perakaran pohon tersebut semakin banyak
unsur hara yang dapat diselamatkan, sehingga akar pepohonan ini menyerupai
jaring yang akan menangkap unsur hara yang mengalir ke lapisan bawah, fungsi ini
dinamakan sebagai "jaring penyelamat hara". Contoh: petaian (Peltophorum
dasyrrachis) yang ditanam di sela-sela jagung.
Persaingan akan air dan unsur hara antara akar pepohonan dan akar
tanaman semusim terjadi jika akar pohon banyak menyebar secara mendatar di
lapisan atas tanah (0-20 cm), di mana sebagian besar akar tanaman semusim
menyebar. Pohon yang mempunyai sebaran akar yang demikian tidak cocok
ditanam secara tumpangsari atau sebagai tanaman pagar.
4 Pemecahan Masalah

Gambar 4.9
Skematis sinkronisasi ketersediaan
hara dan saat tanaman
membutuhkan serta kedalaman
perakaran yang dibutuhkan.
Contoh: Akar petaian (Peltophorum) berpotensi untuk membentuk jaring
penyelamat hara karena sebaran akarnya lebih dalam daripada akar jagung
(Gambar 4.10), sementara lamtoro (Leucaena leucocephala) yang berperakaran
dangkal pada tanah masam menimbulkan kompetisi akan air dan hara (Gambar
4.11).
Gambar 4.10 Sebaran perakaran petaian yang menyebar dalam di bawah akar jagung, sehingga
pohon ini dapat mengurangi N yang hilang tercuci sekitar 70%, bila
dibandingkan dengan sistem tanpa pohon (Foto: Pratiknyo Purnomosidhi).
4 Pemecahan Masalah
– 87 –
Gambar 4.11 Sebaran perakaran dangkal dari lamtoro menyebabkan kompetisi air dan hara
dengan akar jagung. (Foto: Pratiknyo Purnomosidhi).
Seberapa dalam perakaran tanaman yang dibutuhkan?
Tingkat jerapan hara dalam tanah ditentukan oleh kapasitas jerapan tanah,
yang pada gilirannya ditentukan oleh kandungan liat dan kandungan bahan
organik tanahnya. Keberadaan hara bermuatan negatif (anion) dalam tanah,
misalnya N sebagai NO3- akan lebih mudah tercuci dari pada berbentuk NH4+.
Hal ini dikarenakan permukaan liat juga bermuatan negatif sehingga terjadi tolak
menolak, maka tingkat jerapan tanah terhadap NO3- rendah. Pada kondisi tanah
masam transformasi NH4+ menjadi NO3- oleh mikrobia berlangsung relatif lebih
lambat dari pada tanah bereaksi netral, dengan demikian sebenarnya kemasaman
tanah akan mengurangi pencucian N.
Berdasarkan perhitungan model statistik oleh Van Noordwijk dan De
Willigen (1989), pencucian di daerah Lampung mencapai kedalaman sekitar 0.7 m
per tahun, bila besarnya limpasan permukaan sekitar 10% dari total air hujan.
Untuk tanaman yang memiliki kedalaman perakaran sekitar 0.7 m, maka
kemungkinan kehilangan N melalui pencucian akan menjadi lebih kecil asalkan
proses nitrifikasi berlangsung lambat. Pada kenyataannya kedalaman efektif
perakaran tanaman pada tanah masam hanya berkisar antara 0-20 cm saja. Oleh
karena itu kemungkinan terjadinya kehilangan hara melalui pencucian menjadi
besar. Seleksi tanaman berperakaran dalam pada tanah masam, akan lebih
menguntungkan dalam mengurangi pencemaran lingkungan.
C. Infeksi mikoriza
Selain N, unsur hara P juga merupakan faktor pembatas pertumbuhan
tanaman yang sering dijumpai pada tanah masam. Pencabutan subsidi pupuk
membuat petani mulai menoleh pada pupuk hayati dengan memanfaatkan bahan
4 Pemecahan Masalah

yang ada di sekitar mereka. Salah satu di antaranya adalah melalui mikoriza, jasad
renik yang dapat meningkatkan ketersediaan P untuk tanaman. Mikoriza mampu
menyerap P pada konsentrasi yang sangat rendah di mana akar tanaman (yang
tidak terinfeksi mikoriza) tidak mampu menyerapnya. Semakin rendah
konsentrasi P dalam larutan tanah, maka peranan mikoriza semakin efektif.
Banyak hasil penelitian membuktikan bahwa mekanisme peningkatan serapan P
adalah berdasarkan peningkatan sebaran hifa di dalam profil tanah. Hifa dari
mikoriza ini merupakan kepanjangan dari akar tanaman yang menembus sel akar,
memberikan pengaruh yang sangat menguntungkan karena dapat menambah luas
permukaan akar sehingga dapat menambah jumlah serapan air dan P. Gambar
skematis dari “endo-mycorrhyza” yang berasosiasi dengan akar pepohonan disajikan
pada Gambar 4.12.
Gambar 4.12 Skematis endomikoriza pada akar
pepohonan (kiri) dan foto VAM
(Vesicular-Arbuscular Mycorrhizas) pada
akar paitan (Tithonia diversifolia) (Foto:
Supriyadi)
Melakukan inokulasi mikoriza kepada akar tanaman di tingkat petani tidak
lazim dilakukan. Pemilihan tanaman legume penutup tanah dan pohon yang
perakarannya berpotensi tinggi terinfeksi mikoriza sangat dianjurkan sebagai
tanaman pagar, guna membantu meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk P.
Pada tanah masam di Nigeria, infeksi mikoriza pada akar tanaman legume
penutup tanah (LCC) biasanya rendah berkisar antara 2-6% (Hairiah dan Van
Noordwijk, 1986). Gamal memiliki tingkat infeksi mikoriza yang lebih tinggi
daripada tanaman pagar lainnya, sedang jagung dan ubi kayu memiliki tingkat
infeksi yang tinggi antara 30-40% (Tabel 4.5).
4 Pemecahan Masalah

Tabel 4.5 Infeksi mikoriza (% total panjang akar) pada beberapa tanaman legume penutup
tanah pada saat tanaman berumur 14 minggu pada tanah masam (Hairiah dan van
Noordwijk, 1986).
Jenis LCC % Infeksi mikoriza
Koro benguk (Mucuna pruriens var. utilis) 3.5
Ki besin (Centrosema pubescens) 7.4
Kacang ruji (Pueraria javanica) 2.9
Kecipir (Psophocarpus palustris) 4.7
Desmodium ovalifolium 5.8
Jagung (Zea mays) 43
Ubi kayu (Manihot esculenta) 32
Gamal (Gliricidia sepium) 12.5
Lamtoro (Leucaena leucocephala) 3.5
Flemingia congesta 1.6
Bulangan (Gmelina arborea) 3.8
D. Menanam tanaman famili leguminose
Penambahan unsur hara N ke dalam tanah dapat melalui dua cara yaitu
melalui pemupukan misalnya urea dan penambatan N dari udara. Pemupukan
anorganik mempunyai pengaruh sampingan yang kurang baik yaitu selain
memasamkan tanah, juga menyebabkan polusi lingkungan karena tingkat
pencucian N yang sangat tinggi pada lahan pertanian intensif. Pupuk N juga
merupakan sarana produksi yang mahal, terutama setelah dihapuskannya subsidi
pupuk. Konsep nutrisi tanaman harus mengintegrasikan unsur hara dan faktor
produksi lainnya ke arah pertanian yang produktif dan berlanjut, yang dapat
mempertahankan kesuburan tanah, produktivitas tanah, dan keuntungan lainnya.
Konsep pengelolaan N secara biologi ini mencakup upaya mencapai efisiensi
terbesar dalam penggunaan pupuk anorganik dan mengoptimalkan pemanfaatan
sumber N alternatif seperti bahan organik dan penambatan N bebas di udara.
Udara yang kita hirup sesungguhnya mengandung banyak N (sekitar 78%), tetapi
tidak dapat kita manfaatkan seperti yang dilakukan organisme tinggi lain. Unsur
N bebas di udara tersebut dapat tersedia bagi tanaman melaui aktivitas
mikroorganisme dalam tanah. Penyediaan unsur N secara biologi ini hanya
menggunakan energi matahari sehingga merupakan sumber yang murah, dan yang
terpenting tidak mengakibatkan polusi lingkungan.
Di antara banyak pilihan dalam penyediaan N dari udara, penambatan N
bebas oleh simbiosis legume-rhizobium merupakan sistem yang paling
menjanjikan. Bakteri rhizobium yang ada dalam tanah akan menempel pada
permukaan bulu akar, kemudian biasanya ujung bulu akar membengkak
(melingkar) karena kecepatan pembelahan sel pada ke dua sisi akar yang tidak
sama terhenti. Pada bagian dalam lekukan, kerusakan dinding sel tanaman terjadi
mengakibatkan bakteri rhizobium dapat memasuki bulu akar. Hal ini diawali
dengan pembentukan benang infeksi yang tumbuh sepanjang akar rambut dan
4 Pemecahan Masalah

akhirnya mencapai korteks. Bintil akar kemudian terbentuk di mana penambatan
N dari udara bebas berlangsung. Rhizobium hidup dalam bintil akar,
menggunakan N bebas dari udara tanah, dan mengubahnya menjadi bentuk NH3.
Bentuk dari bintil akar ini bermacam-macam, misalnya bintil akar pada
koro benguk yang menyerupai kipas, pada kacang tunggak berupa bulatan seperti
kelereng dengan permukaan agak kasar (Gambar 4.13). Perakaran tanaman yang
mempunyai banyak bintil akar dengan sendirinya menunjukkan bahwa tanaman
tersebut merupakan inang Rhizobium yang mempunyai potensi besar sebagai
pengikat N.
Apakah penanaman legume dapat meningkatkan N-Kapital?
Pada umumnya tanaman kacang-kacangan (legume) dapat meningkatkan
produksi tanaman pangan bila ditanam secara tumpangsari ataupun tumpang gilir,
karena jumlah N tanah meningkat akibat adanya tambahan N dari hasil
penambatan N bebas di udara. Banyaknya N yang diikat dari udara bervariasi
tergantung dari jenis tanamannya. Beberapa jenis legume dari famili
Caesalpinioideae tidak membentuk bintil akar, dan pada umumnya tanaman dari
keluarga tersebut tidak mampu menambat N dari udara bebas, sebagai contohnya
adalah petaian (Peltophorum dasyrrachis).
Gambar 4.13 Skematis bintil akar koro benguk (Mucuna pruriens var. utilis) dan kacang tunggak
(Vigna unguiculata)
Tidak semua tanaman legume dapat menguntungkan tanaman lainnya,
bahkan ada beberapa legume penghasil biji (grain legume) yang justru menyerap N
lebih banyak dari pada N yang disumbangkan melalui penambatan N di udara.
Giller et al. (1995) mengatakan bahwa besarnya kontribusi N tanaman legume
melalui penambatan N ditentukan oleh besarnya Indeks Panen-N (N-Harvest
Index) tanaman tersebut. Indeks Panen-N ini merupakan persentasi jumlah N
yang ada di biji per total jumlah N di tajuk. Index panen-N tinggi artinya apabila
sebagian besar N asal fiksasi N ditumpuk dalam biji tanaman maka N tersebut
4 Pemecahan Masalah

akan terangkut keluar tanah bersama panenan. Dengan demikian jumlah N yang
tersisa yang kembali ke dalam tanah (kapital N) melalui pengembalian sisa
panenan dan akar-akar yang tertinggal dalam tanah tidak akan memberikan
sumbangan yang berarti bagi tanaman yang ditanam selanjutnya atau bahkan
justru menimbulkan kahat N. Dan bila legume ditanam secara tumpangsari akan
merugikan tanaman lainnya. Jadi menanam legume yang memiliki index panen-N
tinggi akan menghasilkan cadangan (kapital) N yang rendah.
Penelitian-penelitian pengelolaan N banyak melakukan pengukuran
penambatan N oleh legume di lapangan, namun sayangnya tidak dikaitkan dengan
indeks panen-N tanaman pada setiap system pola tanam sehingga kurang
membantu petani dalam menentukan strategi pengelolaan N. Contoh sintesis
data penambatan N dan indeks panen-N dapat dilihat pada contoh kasus 4.3 dan
4.4 berikut ini.
4 Pemecahan Masalah

Contoh Kasus 4.2
Cara mengevaluasi peranan Legume untuk
meningkatkan kapital-N
Untuk penilaian itu perlu dibuat diagram (Gambar 4.14) sebagai alat bantu. Gambar
tersebut memberikan ilustrasi secara skematis tentang penilaian keuntungan tanaman
legume dalam memperbaiki kapital-N tanah.
1. Dibuat sumbu Y sebagai pengaruh legume terhadap kapital N tanah. Sumbu Y ini
dibagi menjadi dua yaitu:
(a) Nilai positif merupakan tambahan N hasil penambatan dari udara, nilainya
berkisar antara 0-100%.
(b) Nilai negatif merupakan jumlah N yang terangkut keluar tanah, nilainya berkisar
antara 0-100%.
2. Dibuat sumbu X tegak lurus sumbu Y yang merupakan nilai Index panen (jumlah N
biji per jumlah total N pada tajuk), nilainya berkisar antara 0-100%.
3. Ditarik garis diagonal yang menghubungkan sumbu Y dan sumbu X yang
menunjukkan jumlah N yang tertambat maupun yang terangkut keluar plot. Garis
diagonal paling atas menunjukkan besarnya penambatan N 100% yang tidak
mungkin diperoleh pada kondisi sebenarnya di lapangan, sedang garis paling bawah
menunjukkan bahwa legume yang tidak menambat N dari udara bebas.
Dengan demikian untuk tujuan praktis jumlah netto N dari berbagai jenis tanaman
legume dapat diletakkan dalam bagian terarsir pada gambar tersebut. Informasi ini akan
membantu petani/penyuluh dalam mengklasifikasikan pengaruh legume, menjadi:
(a) menguntungkan bila nilai netto yang diperoleh positif
(b) netral, tidak memberikan keuntungan terhadap penyediaan N tetapi mungkin hanya
menguntungkan bila ditinjau dari segi C-organik.
(c) merugikan bila nilai netto negatif (misalnya kacang tanah varietas lokal di Lampung)
N - Indeks Panen Pengaruh legume thdp. Kapital- N
Terangkut keluar Tambahan
+100%
-100%
0
100 %
33%
67%
0 100%
0%
N2 dari
udara bebas
Legume yang tidak
menambat N
33% 67%
Gambar 4.14 Hubungan skematis pengaruh tanaman legume terhadap kapital N tanah
(Giller et al., 1994)
4 Pemecahan Masalah

Contoh Kasus 4.3
Apakah penyisipan Legume dalam pola tanam
meningkatkan kapital-N?
Berikut adalah hasil perhitungan neraca N dari 2 pola tanam yang diuji pada
tanah masam di Lampung, yaitu: budidaya pagar dan sistem tumpang gilir antara
tanaman legume dengan tanaman pangan. Tanaman pagar gamal (Gliricidia sepium) dan
petaian (Peltophorum dasyrrachis) ditanam berselang seling dalam baris dibandingkan
dengan Flemingia saja sebagai tanaman pagar. Untuk sistem tumpang gilir, legume yang
ditanam adalah kacang tanah diikuti kacang tunggak. Tanaman pangan yang ditanam
adalah tumpangsari jagung dan padi. Untuk mengukur neraca N pada setiap system pola
tanam ditentukan besarnya N yang terangkut keluar plot dan N yang masuk ke dalam
tanah hasil dari penambatan N di udara selama 2–3 tahun. Hasil perhitungan disajikan
pada Tabel 4.7.
Tabel 4.7 Neraca N per tahun pada sistem budidaya pagar berumur 2 dan 3 tahun
(yang ditunjukkan dengan angka dalam kurung) dan tumpang gilir. Jumlah N
tertambat dari udara pada tahun ke tiga ditetapkan hanya berdasarkan
asumsi bahwa jumlahnya sama dengan yang diperoleh pada tahun ke 2
(Hairiah et.al., 2000).
Budidaya pagar
Petaian+gamal Flemingia
Tumpang gilir
Kc. Tanah - Kc
Tunggak
Kg ha th-1
N-terangkut keluar1) 34 (70) 37 (82) 77 (110)
N- kembali ke dalam tanah
Penambatan oleh pohon (hanya
dilakukan oleh gamal, petaian
tidak memiliki bintil akar)
38 35 0
Penambatan oleh kc.tanah 20 16 34
Penambatan oleh kc.tunggak 3 8 18
Neraca N per sistem2) 27 (-9) 22 (-19) -25 (-53)
Keterangan:
1) N-terangkut keluar tanah melalui pengangkutan hasil panenan yaitu biji padi,.jagung dan
kacang tanah atau kacang tunggak.
2) Neraca N per system: merupakan hasil pengurangan N yang masuk ke dalam tanah (hasil dari
pengembalian sisa panenan, pangkasan tanaman pagar (untuk system budidaya pagar) dan hasil
penambatan N di udara) dengan N yang keluar tanah. Masukan lewat akar yang tertinggal
dalam tanah untuk sementara tidak dimasukkan dalam perhitungan.
4 Pemecahan Masalah

Contoh kasus 4.3 (Lanjutan)
Berdasarkan hasil perhitungan tersebut dapat dilihat bahwa pada sistem budi daya
pagar jumlah N yang ditambat oleh kacang tanah dan kacang tunggak jauh lebih rendah
dari pada sistem tumpang gilir. Kacang tanah mampu menambat N di udara sekitar 35
kg ha-1 th-1, sedangkan kacang tunggak hanya separuhnya. Tanaman pagar gamal dan
Flemingia menambahkan N dalam jumlah yang kurang lebih sama dengan yang diberikan
oleh kacang tanah. Namun yang perlu dilihat disini adalah N yang terangkut keluar tanah
lewat panenan, di mana pada system rotasi kehilangan N sekitar 77 kg ha-1 th-1.
Sedangkan kehilangan N pada system budi daya pagar hanya sekitar separuhnya, karena
ada pengembalian N melalui pengembalian pangkasan tajuk.
Perhatikan pada nilai neraca N dari setiap system. Disini dapat dilihat bahwa
pada umur 2 tahun system budi daya pagar memberikan saldo positif, artinya system ini
masih mampu menyumbangkan N ke dalam tanah sekitar 25 kg ha-1 th-1. Sedangkan
pada system tumpang gilir, penanaman legume tidak dapat menutup kehilangan N
melalui pengangkutan panenan. Neraca N yang diperoleh sekitar - 25 kg ha-1 th-1. Pada
system tumpang gilir ini nampaknya masih diperlukan penambahan pupuk N (misalnya
urea) dalam jumlah sedikit paling tidak hanya untuk menggantikan N yang hilang
tersebut. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak semua tanaman legume
dapat memperbaiki kapital N tanah. Faktor pengelolaan lain dalam satu sistem pola
tanam sangat menentukan besar kecilnya sumbangan N tanaman legume.
Hal yang dapat dipelajari disini bahwa untuk tujuan studi pembangunan kapital N
tanah dengan menanam tanaman legume di dalam sistem pola tanam, maka ada 2 hal
yang perlu dipertimbangkan yaitu:
· Indeks panen-N. Index Panen-N rendah artinya produksi polong tinggi dengan
kandungan N rendah namun biomas yang ditinggalkan cukup banyak akan sangat
menguntungkan bagi tanaman yang ditanam pada musim berikutnya atau tanaman
yang ditanam bersamaan.
· Jumlah sisa panenan yang banyak agar kapital N dapat terjaga baik untuk jangka
pendek maupun panjang.
Dan perbaikan strategi pengelolaan tanah harus dilakukan berdasarkan hasil pengamatan
kuantitatif dalam jangka panjang.
4 Pemecahan Masalah

Contoh Kasus 4.4.
Dapatkah legume menambah kapital N tanah?
Berikut adalah hasil pengukuran penambatan N dari udara oleh beberapa jenis
tanaman legume pada tanah masam di Lampung. Tanaman legume yang ditanam
adalah kacang tanah, kacang tunggak, gamal dan Flemingia (Tabel 4.6.).
Tabel 4.6. Besarnya N yang ditambat dari udara (fiksasi), jumlah N dalam biji dan
neraca N dari berbagai jenis tanaman. Neraca N = penambatan N di udara –
N yang tertumpuk di biji.
Jenis Tanaman
Total N
tajuk
kg ha-1
Penambatan
N%
Penambatan
N
kg ha-1
N-biji
kg ha-1
Neraca N
kg ha-1
Kacang tanah 48 46 22 26 - 4
Kacang tunggak 31 52 16 37 - 21
Gamal 26 57 15 0 + 15
Flemingia 79 28 22 0 + 22
Dari tabel tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa nilai neraca N positif dapat diartikan
sebagai kontribusi N ke dalam tanah hanya ditunjukkan oleh tanaman pagar gamal dan
Flemingia, karena tidak ada pemanenan polong. Sedang pada kacang tanah dan kacang
tunggak sebagian besar N ditumpuk di dalam biji yang semuanya diangkut ke luar plot
bersama panen. Dengan demikian kedua legume penghasil biji ini tidak menambah N ke
dalam tanah. Bila pada tahun berikutnya lahan ditanami tanaman pangan misalnya jagung
dan lahan tidak dipupuk, maka jagung akan mengalami kahat N. Informasi neraca N ini
selanjutnya bisa dimasukkan ke dalam gambar 4.13. Gambar ini dapat dipakai sebagai alat
bantu untuk memudahkan petani/penyuluh mengenali jenis-jenis legume yang
menguntungkan/merugikan bagi peningkatan kapital N.
N - Indeks Panen
Pengaruh legume thdp. Kapital-N
Terangkut keluar Tambahan
+100%
-100%
0
100 %
33%
67%
0 100%
0%
N2 dari
udara bebas
Kc.tunggak
Kc. tanah
Gliricidia
Legume yang tidak
menambat N
4 Pemecahan Masalah

E. Memilih tanaman yang tahan terhadap keracunan Al
Teknik ini memberikan pengaruh yang menguntungkan terhadap kualitas
lingkungan karena tidak melibatkan tindakan modifikasi lingkungan pertumbuhan.
Modifikasi lingkungan pertumbuhan antara lain meliputi pemupukan, pengolahan
tanah, dan pengairan. Namun teknik ini kurang dapat memenuhi keinginan
petani yang umumnya menghendaki tanaman yang bernilai ekonomis tinggi yang
pada umumnya tingkat ketahanannya rendah terhadap keracunan Al. Selain itu,
untuk perbaikan sifat tanaman secara genetik memerlukan waktu yang lama.
Strategi pemilihan jenis-jenis tanaman yang tahan terhadap keracunan Al
dapat didasarkan pada:
a. Modifikasi sifat (inherent) tanaman melalui tes genetik untuk menjadi lebih
toleran terhadap kemasaman tinggi. Teknik ini biasanya dilakukan pada
jenis-jenis tanaman bernilai ekonomis tinggi tetapi tidak tahan terhadap
kemasaman tinggi.
b. Tanpa modifikasi sifat tanaman. Pada strategi ini dilakukan inventarisasi
tanaman yang dapat tumbuh pada tanah-tanah yang memiliki masalah Al.
Petani lokal umumnya memiliki pengetahuan sangat luas tentang tanaman
yang toleran pada tanah masam, namun demikian transfer pengetahuan ini
ke tempat lain masih perlu hati-hati karena masalah tanah masam ini cukup
kompleks: apakan faktor penghambat pertumbuhan tanaman disebabkan
oleh keracunan Al, Mn atau kekahatan P atau kation basa yang lain. Sebagai
contoh kedelai dan tebu yang tumbuh di daerah Lampung Utara, produksi
yang dihasilkan sangat rendah bila tidak diiringi dengan masukan tinggi,
namun di Queensland (Australia) tebu dapat berproduksi tinggi pada tanah
masam. Sehingga kultivar yang toleran pada suatu daerah masih perlu di uji
ditempat lain.
Beberapa tanaman yang toleran terhadap kemasaman tinggi disajikan pada
Tabel 4.8. Sedang beberapa tanaman yang menunjukkan hasil kurang memuaskan
pada tanah masam antara lain: kedelai, kapas, jagung.
Masalah dalam seleksi tanaman yang tahan terhadap keracunan Al
Seleksi tanaman biasanya hanya menghasilkan dua kelompok yaitu: tahan
(toleran) dan tidak tahan. Tanaman yang tahan terhadap keracunan Al adalah
tanaman yang dapat tumbuh dengan baik pada kondisi apa adanya. Sedangkan
tanaman yang tidak tahan adalah tanaman yang tidak dapat tumbuh sempurna bila
tidak ada usaha manusia untuk memodifikasi lingkungan tumbuhnya.
Kenyataannya beberapa jenis tanaman menunjukkan sifat yang tidak
termasuk dalam kelompok tersebut di atas yaitu adanya sifat menghindar
(avoidance). Menurut Marschner (1989) strategi menghindar adalah menyangkut
kemampuan akar tanaman dalam merubah lingkungan di rhizosphere melalui
peningkatan pH atau eksudasi asam organik atau diendapkan dalam akar. Sedang
Hairiah (1992) menjabarkan ‘avoidance’ sebagai respon akar tanaman untuk
4 Pemecahan Masalah

menghindari tempat-tempat yang kurang menguntungkan atau meningkatnya
aktivitas akar pada tempat-tempat yang menguntungkan. Respon lokal akar ini
dapat dilihat pada Contoh Kasus 4.5.
Tabel 4.8 Beberapa contoh tanaman yang toleran terhadap tingkat kemasaman tinggi.
Kelompok Nama lokal Nama ilmiah
Tanaman Pangan Padi, nanas Zea mays, Ananas comosus
Palawija Kacang tanah
Kacang tunggak
Gude
Arachis hypogea
Vigna unguiculata
Cajanus cajan
Tanaman keras
(“cash crop”)
Kopi
Teh
Kelapa sawit
Karet
Coffea canephora
Thea sinensis = Camellia sinensis
Elaeis guinensis
Hevea brassilinensis
Pohon buah-buahan Rambutan
Nangka
Duren
Cempedak
Duku
Manggis
Jambu air
Jambu biji
Jambu monyet/jambu mede
Mangga
Sirsak
Pete
Jengkol
Nephelium lappaceum
Artocarpus heterophylus
Durio zibethinus
Artocarpus integer
Lansium domesticum
Garcinia mangostana
Syzygium aqueum
Psidium guajava
Anacardium occidantale
Mangifera indica
Anona muricata
Parkia specicosa
Pithecellobium jiringa
Pohon penghasil kayu
(Timber)
Sungkai/jati belanda/jati
seberang
Pulai
Bulangan
Sengon putih
Mahoni
Mangium
Perunema inerme
Alstonia spp
Gmelina arborea
Paraserienthes falcataria
Swietenia mahagoni
Acacia mangium
Tanaman pagar Petaian
Gamal
Flemingia
Lamtoro
Peltophorum dasyrrachis
Gliricidia sepium
Flemingia congesta
Leucaena leucocephala
Tanaman Legume
penutup tanah (LCC)
Orok-orok (Jawa)
Callopo
Callopo
Centro
Kacang asu (bhs jawa)
Kacang benguk
Crotalaria juncea
Calopogonium mucunoides
Calopogonium caeruleum
Centrosema pubescens
Pueraria phaseoloides
Mucuna pruriens var. utilis
Tanaman liar Melastoma
Krinyu
Melastoma sp.
Chromolaena odorata
4 Pemecahan Masalah

Contoh studi kasus ini memberikan informasi berguna untuk perbaikan
teknik seleksi tanaman yang umumnya hanya dilakukan pada kondisi tanah yang
homogen, sedang kondisi di lapang lebih heterogen.
Suksesnya pemilihan tanaman yang toleran terhadap kemasaman tinggi
seringkali kurang didukung oleh nilai ekonomis yang tinggi, seperti misalnya
produksi rambutan, nangka dan nanas yang berlebihan namun harganya sangat
murah. Kenyataan tersebut membuat petani berpaling pada komoditi lain yang
lebih menguntungkan yang biasanya membutuhkan masukan tinggi sehingga
teknologi pengelolaan masukan rendah yang diperoleh kurang diminati oleh
petani.
Contoh kasus 4.5
Respon lokal akar Koro benguk (Mucuna pruriens var. utilis):
menghindari keracunan Al pada lapisan tanah bawah
Sebagai contoh Mucuna cukup toleran tumbuh pada tanah masam di Lampung, namun
sebaran perakarannya dangkal dikarenakan tingginya konsentrasi Al di lapisan bawah.
Bila lapisan atas telah hilang (ditunjukkan dengan garis putus) misalnya karena erosi,
sebaran akar Mucuna dapat tumbuh cukup baik pada lapisan yang lebih dalam baik
dipupuk P maupun tidak. Namun demikian pertumbuhan tajuk tidak meningkat karena
ketersediaan hara lainnya rendah. Jadi peningkatan pertumbuhan akar tidak selalu
diikuti oleh peningkatan pertumbuhan tajuk (Gambar 4.15). Contoh studi kasus ini
membuktikan bahwa Mucuna toleran terhadap konsentrasi Al tinggi bila tidak ada pilihan
yang lebih baik, namun bila ada pilihan akar Mucuna masih memilih tumbuh di lapisan
atas karena kandungan P yang lebih tinggi.
0
10
20
30
40
50
60
70
0 5 10 15
BK akar, g m-2
BK Tajuk, g m-2
Top,OP
Sub, OP
Top, TSP
Sub, TSP
5:1
10:1
2 :1
Gambar 4.15 Berat kering (BK) tajuk dan akar koro benguk pada berbagai kondisi tanah
(Top= lapisan atas masih utuh dan Sub = lapisan atas telah hilang) dengan
perlakuan pemupukan P (0 P = tanapa pupuk P dan TSP = ditambah
pupuk P 1 ton ha-1) (Hairiah, 1992)
4 Pemecahan Masalah

4.3 Teknik mana yang berkelanjutan?
Tidak ada satupun teknik yang ideal yang dapat memecahkan semua
masalah yang cukup kompleks di lapangan. Namun bila kita mengetahui masalah
yang terjadi di lapangan dan memahami proses-proses yang terjadi selama
penanganannya, maka strategi pengelolaan tanah masam dapat dirubah sesuai
dengan kondisi dan kebutuhan.
Mengingat pemulihan (restorasi) kesuburan tanah-tanah terdegradasi
memerlukan waktu yang sangat lama, maka pengelolaan tanah yang tepat perlu
mendapat perhatian yang serius. Penentuan strategi pengelolaan tanah
dipengaruhi oleh tujuannya, untuk jangka pendek atau jangka panjang. Misalnya
bagi petani kecil menanam tanaman yang kurang tahan terhadap kemasaman
tinggi tetapi bernilai ekonomis tinggi dapat ditumpangsarikan atau bergilir dengan
tanaman yang toleran terhadap kemasaman tinggi. Menanam tanaman yang
toleran terhadap kandungan Al tinggi ini akan berguna untuk jangka panjang
melalui perbaikan sifat fisik tanah dan mempertahankan kandungan bahan
organik tanah. Dari hasil penelitian BMSF (Biological Management of Soil
Fertility) pada Ultisols di daerah Pakuan Ratu, Lampung, selama 15 tahun, telah
menghasilkan sepuluh prinsip pengelolaan tanah-tanah secara biologi yang apabila
dituliskan dalam Bahasa Inggris huruf awal setiap butir dapat membentuk kata
yang mudah diingat yaitu “MOTHER SOIL” yang kepanjangannya sebagai
berikut:
M aintain biodiversity
O ptimize biological N2 fixation
T une demand for and supply of N to minimize losses and need for fertilizer.
H ave deep-rooted components included as ‘safety-nets’ for leaching nutrients
E ffectice acid soil tolerant germplasm and Al-detoxification by organic matter
R eplace phosphorus and cations exported in harvested products
S upply permanent soil cover
O mit or minimize soil tillage
I ntegrate ‘service’ components (cover crops, trees) into the cropping system
L et excessive rainfall escape via by-pass flow channels
4 Pemecahan Masalah
– 100 –
Prinsip pengelolaan pertama “mother”, perhatian lebih dipusatkan kepada
usaha mempertahankan keanekaragaman hayati (M) melalui pengelolaan bahan
organik tanah, pengaturan penyediaan hara dan meningkatkan efisiensi serapan hara.
Khusus untuk penyediaan hara N, menanam tanaman legume berpotensi untuk
mempertahankan konsentrasi N dalam tanah (O). Mengingat tingginya mobilitas N
dalam tanah, pemilihan kualitas bahan organik merupakan strategi yang paling
mendasar untuk meningkatkan sinkronisasi ketersediaan hara dengan saat tanaman
membutuhkannya (T). Sinkronisasi hara ini juga dapat ditingkatkan dengan pemilihan
tanaman yang berperakaran dalam yang dapat berperan sebagai jaring penyelamat hara
(H). Pemilihan varietas tanaman yang toleran terhadap Al perlu dipertimbangkan
untuk mengurangi penggunaan kapur yang dapat meningkatkan N tercuci ke lapisan
bawah (E). Selain daripada itu pengelolaan harus diusahakan untuk mengganti hara
terutama P yang hilang terangkut panen (R).
Kelompok ke dua “soil”, di mana pengelolaan lebih difokuskan untuk jangka
panjang yaitu mempertahankan sifat fisik tanah. Usaha pengelolaan sifat fisik tanah
harus dipusatkan kepada perbaikan porositas tanah untuk mengurangi limpasan
permukaan dan erosi melalui penutupan permukaan tanah (S) dan menghindari atau
meminimalkan pengolahan tanah (O). Penggunaan tanaman legume penutup tanah
atau pepohonan dalam satu pola tanam yang permanen serta usaha pengembalian sisa
panenan dapat menjadi pelindung lapisan permukaan tanah dari erosi, kekeringan.dan
tumbuhnya gulma alang-alang (I). Akar-akar tanaman penutup tanah yang telah mati
akan meninggalkan rongga besar yang dapat berfungsi sebagai jalur cepat aliran air,
sehingga akan mengurangi genangan air hujan yang berlebihan (L).
Berdasarkan pada uraian panjang lebar diatas maka usaha pengelolaan tanah
masam secara biologi dan terintegarasi nampaknya merupakan strategi
pengelolaan yang lebih menjanjikan untuk mencapai produktivitas yang berkelanjutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar