Senin, 23 Mei 2011

Politik Kecabulan

http://www.edowart-ferdiansahblogspot.com


Kamis, 14 April 2011 00:00 WIB
BANYAK orang salah persepsi tentang erotika (erotic) dan mencampuradukkan dengan kecabulan (obscenity). Permasalahan terbesar karena tidak memahami eksistensi keduanya serta adanya dominasi maskulin dalam memberi tafsir.
Erotika sesungguhnya hal lumrah dalam seni dan sastra. Ia bisa masuk dalam pelbagai spektrum seni seperti ketuhanan (divinity) dan politik. Dalam drama ia bisa terkonstitusi melalui tema tragedi, komedi, satiris, absurd, dan lain-lain. Dalam seni rupa ekspresi erotis bisa terlihat pada karya Leonardo da Vinci, Pablo Picasso, atau Salvador Dali. Dalam sastra lebih banyak lagi yang menjadi bacaan dunia dan mengabadi seperti Vatsayana (Kama Sutra), Alexander Pushkin (Gabrilliard), George Bataille (Story of the Eye), Mark Twain (1601), atau Marquis de Sade (Justine, or the Misfortunes of Virtue).
Dalam karya anak negeri kita bisa melihat misalnya pada novel/puisi sastra Motinggo Busye, Goenawan Mohamad, Oka Rusmini, Ayu Utami, Jenar Mahesa Ayu, dan lain-lain. Bahkan dalam sastra kuno seperti Ramayana, Serat Centini, dan La Galigo, unsur-unsur erotis kerap mewarnai. Dalam perspektif para sufi, kesenangan seksual tinggi (ecstatic sexual pleasure) menjadi tanda keagungan Tuhan (Riane Eisler, Sacred Pleasure, 1995). Erotika adalah salah satu unsur estetika dalam berkesenian.
Namun, kecabulan sangat jauh berbeda. Kecabulan berhubungan dengan insting purba yang dieksploitasi untuk kepuasan hewani, nir-refleksi, dan sama sekali tidak artistik. Menonton film porno adalah salah satu bentuk kecabulan karena jelas film sejenis ini hanya memamerkan aksi rekreasi seksual yang merusak imajinasi. Kecabulan atau kepornoan adalah dosa yang mencemari seni karena, menurut Plato, semuanya serba telanjang dan tidak memberi pemahaman yang melampaui pengalaman (Helen McDonald, Erotic Ambiguity : The Female Nude in Art, 2001). Itu pula sebabnya banyak orang akan menghindari pornografi terlihat di ruang publik. Kecabulan membunuh, merusak, dan menistakan kehidupan berbeda dengan eros yang menggairahkan kehidupan (spirit of life). Kecabulan adalah perilaku aib yang mengubur peradaban.
Dari perspektif ini kecabulan tidak hanya melulu berhubungan dengan seks, tapi juga mencakup segala hal yang merusak dan menjadi aib bagi publik.Sebagiannya terbaca oleh publik dan menjadi perilaku anggota DPR periode ini.

Kecabulan politik

Sebagai salah satu lembaga tinggi negara, DPR periode 2009-2014 ini telah terlalu sering menampilkan aib. Kita masih ingat bagaimana sad ending kasus bailout Bank Century tidak berhasil diungkap dengan sempurna hingga saat ini. Kasus Rp6,7 triliun itu bukan hanya berhubungan dengan pengemplangan dana nasabah yang bersifat internal perbankan, melainkan juga berhubungan dengan perilaku politik elite pada masa pemilu. Jelas pengungkapan kasus ini akan mendelegitimasi status kekuasaan sekarang. Kemenangan kelompok setuju hak angket pun tidak memuaskan dahaga keadilan publik karena akhirnya terjadi politik saling sandera antara blok politik yang pro dan anti penuntasan kasus Bank
Century.
Hal itu diikuti aib kasus mafia pajak dan rekening gendut petinggi Polri yang ternyata gagal mengangkat harga diri parlemen Indonesia. Kelompok setuju hak angket kasus mafia pajak kalah saat pemungutan suara yang berselisih dua suara dengan kelompok yang tidak setuju. Kasus ini memperlihatkan akrobasi politisi Senayan dalam akuarium politik yang serba abu-abu, bahwa antara pihak yang proreformasi dan status quo sama-sama memerankan dramaturgi politik. Layar depan menampilkan karismatisme, prorakyat, peduli publik, sedangkan latar belakang mempertontonkan perilaku sebaliknya. Fraksi pendukung pun tidak jujur berposisi bersama rakyat, dan hanya memperlihatkan oposisi setengah hati. Kita tentu tahu kekalahan ini juga berhubungan dengan ke(sengaja)tidakhadiran anggota fraksi pendukung sehingga kalah saat voting.
Kecabulan lain yang diperlihatkan DPR RI adalah rencana pembangunan gedung dinas dengan total anggaran Rp1,138 triliun. Meskipun suara publik se-Indonesia menolak pamer mewah yang dipaksakan itu, Ketua DPR Marzuki Alie dengan kacamata kudanya tak pernah surut langkah dan menganggap ini masalah urgen dan tidak bisa ditunda-tunda lagi demi peningkatan kinerja. Ada kontradiksi antara antropologi anggota dewan yang hedonistik dan antropologi mayoritas masyarakat Indonesia yang penuh kemelaratan dan serba kekurangan. Kekurangan rakyat tidak pernah diisi dengan empati oleh wakil rakyat.
Indeks kepornoan lain tersirat pada kasus Citibank. Melalui siaran langsung Metro TV kita melihat repertoar anggota Komisi XI DPR yang berkomentar sok proletar dan beramai-ramai mengembalikan kartu kredit bank itu karena telah bersikap semena-mena kepada rakyat Indonesia. Pertanyaannya, rakyat Indonesia mana yang memiliki kartu kredit dengan ambang batas belasan kali lipat gaji PNS golongan III? Kecabulan ini juga ditunjukkan dengan menggertak pihak Citibank seolah-olah pesakitan durjana.
Mengapa ada beda perlakuan antara kasus Century dan Citibank? Tidak lain karena pada kasus Bank Century ada kepentingan kekuasaan yang mencekik tenggorokan sehingga suara rakyat sulit keluar, sedangkan pada kasus Citibank semua mudah; no thing to lose. Seluruh harta Melinda D dikuras dengan cepat, tapi pada kasus vonis Bahasyim Asyifie pengadilan hanya menghukum 10 tahun dengan menyita Rp60,9 miliar dan US$681 ribu.
Padahal proses pengadilan membeberkan Asyifie telah merugikan negara hingga Rp900 miliar. Mengeksploitasi Gayus sebagai penjahat teri memang mudah, tapi membongkar kejahatan kekuasaan kakap seakan tak pernah cukup kail.
Terakhir kasus menonton film porno anggota DPR Fraksi PKS di tengah sidang menjadi eksemplar keburukan lembaga representasi rakyat itu. Setelah sebelumnya berkilah tak sengaja, anggota dari partai pengusung politik kesalehan dan kesucian ini tak bisa mengelak dari bukti-bukti yang ada.Kasus menonton film porno di tengah sidang ini hanya indeks dari sederet aib politik DPR. Parlemen seharusnya sungguh-sungguh bekerja menghasilkan regulasi, menangkap suara sunyi rakyat, dan berempati dengan menjaga diri dari perbuatan yang bisa menyakiti hati publik. Tapi malah sebaliknya.
Aneka politik kecabulan itu menjadi cermin bahwa roh Senayan telah putus hubungan dengan mayoritas rakyat. Mereka hanya sekumpulan tubuh dan pikiran yang terpilih melalui pemilu untuk kemudian menjelma menjadi komunitas eksklusif yang berorientasi pada pemuasan insting purba. Sungguh itu sebesar-besar dosa kepada rakyat.


MASYARAKAT YANG BERBUDAYA
ABSTRAK
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbada budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.
Budaya adalah suatu perangkat rumit nilai-nilai yang dipolarisasikan oleh suatu citra yang mengandung pandangan atas keistimewaannya sendiri."Citra yang memaksa" itu mengambil bentuk-bentuk berbeda dalam berbagai budaya. Citra budaya yang brsifat memaksa tersebut membekali anggota-anggotanya dengan pedoman mengenai perilaku yang layak dan menetapkan dunia makna dan nilai logis yang dapat dipinjam anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk memperoleh rasa bermartabat dan pertalian dengan hidup mereka.Dengan demikian, budayalah yang menyediakan suatu kerangka yang koheren untuk mengorganisasikan aktivitas seseorang dan memungkinkannya meramalkan perilaku orang lain.








A. Pendahuluan
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia.Kebudayaan didefinisikan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterprestasikan lingkungan dan pengalamanya, serta menjadi landasan bagi tingkah-lakunya. Dengan demikian, kebudayaan merupakan serangkaian aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, rencana-rencana, dan strategi-strategi yang terdiri atas serangkaian model-model kognitif yang dipunyai oleh manusia, dan digunakannya secara selektif dalam menghadapi lingkungannya sebagaimana terwujud dalam tingkah-laku dan tindakan-tindakannya.
Negara-bangsa Indonesia terdiri dari berbagai macam budayayang terwadahi dalam bentuk NKRI yang mengakui keragaman dan menghormati setiap budaya yang ada di daerah seluruh Indonesia








B. Pembahasan
Kebudayaan sebagai suatu keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi pedoman bagi tingkah lakunya. Suatu kebudayaan merupakan milik bersama anggota suatu masyarakat atau suatu golongan sosial, yang penyebarannya kepada anggota-anggotanya dan pewarisannya kepada generasi berikutnya dilakukan melalui proses belajar dan dengan menggunakan simbol-simbol yang terwujud dalam bentuk yang terucapkan maupun yang tidak (termasuk juga berbagai peralatan yang dibuat oleh manusia). Dengan demikian, setiap anggota masyarakat mempunyai suatu pengetahuan mengenai kebudayaannya tersebut yang dapat tidak sama dengan anggota-anggota lainnya, disebabkan oleh pengalaman dan proses belajar yang berbeda dan karena lingkungan-lingkungan yang mereka hadapi tidak selamanya sama.
Cara pandang terhadap kebudayaan
Kebudayaan sebagai peradaban
Saat ini, kebanyakan orang memahami gagasan "budaya" yang dikembangkan di Eropa pada abad ke-18 dan awal abad ke-19. Gagasan tentang "budaya" ini merefleksikan adanya ketidakseimbangan antara kekuatan Eropa dan kekuatan daerah-daerah yang dijajahnya. Mereka menganggap 'kebudayaan' sebagai "peradaban" sebagai lawan kata dari "alam". Menurut cara pikir ini, kebudayaan satu dengan kebudayaan lain dapat diperbandingkan; salah satu kebudayaan pasti lebih tinggi dari kebudayaan lainnya.
Pada prakteknya, kata kebudayaan merujuk pada benda-benda dan aktivitas yang "elit" seperti misalnya memakai baju yang berkelas, fine art, atau mendengarkan musik klasik, sementara kata berkebudayaan digunakan untuk menggambarkan orang yang mengetahui, dan mengambil bagian, dari aktivitas-aktivitas di atas. Sebagai contoh, jika seseorang berpendendapat bahwa musik klasik adalah musik yang "berkelas", elit, dan bercita rasa seni, sementara musik tradisional dianggap sebagai musik yang kampungan dan ketinggalan zaman, maka timbul anggapan bahwa ia adalah orang yang sudah "berkebudayaan".
Orang yang menggunakan kata "kebudayaan" dengan cara ini tidak percaya ada kebudayaan lain yang eksis; mereka percaya bahwa kebudayaan hanya ada satu dan menjadi tolak ukur norma dan nilai di seluruh dunia. Menurut cara pandang ini, seseorang yang memiliki kebiasaan yang berbeda dengan mereka yang "berkebudayaan" disebut sebagai orang yang "tidak berkebudayaan"; bukan sebagai orang "dari kebudayaan yang lain." Orang yang "tidak berkebudayaan" dikatakan lebih "alam," dan para pengamat seringkali mempertahankan elemen dari kebudayaan tingkat tinggi (high culture) untuk menekan pemikiran "manusia alami" (human nature)
Sejak abad ke-18, beberapa kritik sosial telah menerima adanya perbedaan antara berkebudayaan dan tidak berkebudayaan, tetapi perbandingan itu -berkebudayaan dan tidak berkebudayaan- dapat menekan interpretasi perbaikan dan interpretasi pengalaman sebagai perkembangan yang merusak dan "tidak alami" yang mengaburkan dan menyimpangkan sifat dasar manusia. Dalam hal ini, musik tradisional (yang diciptakan oleh masyarakat kelas pekerja) dianggap mengekspresikan "jalan hidup yang alami" (natural way of life), dan musik klasik sebagai suatu kemunduran dan kemerosotan.
Saat ini kebanyak ilmuwan sosial menolak untuk memperbandingkan antara kebudayaan dengan alam dan konsep monadik yang pernah berlaku. Mereka menganggap bahwa kebudayaan yang sebelumnya dianggap "tidak elit" dan "kebudayaan elit" adalah sama - masing-masing masyarakat memiliki kebudayaan yang tidak dapat diperbandingkan. Pengamat sosial membedakan beberapa kebudayaan sebagai kultur populer (popular culture) atau pop kultur, yang berarti barang atau aktivitas yang diproduksi dan dikonsumsi oleh banyak orang.
Kebudayaan sebagai "sudut pandang umum"
Selama Era Romantis, para cendekiawan di Jerman, khususnya mereka yang peduli terhadap gerakan nasionalisme - seperti misalnya perjuangan nasionalis untuk menyatukan Jerman, dan perjuangan nasionalis dari etnis minoritas melawan Kekaisaran Austria-Hongaria - mengembangkan sebuah gagasan kebudayaan dalam "sudut pandang umum". Pemikiran ini menganggap suatu budaya dengan budaya lainnya memiliki perbedaan dan kekhasan masing-masing. Karenanya, budaya tidak dapat diperbandingkan. Meskipun begitu, gagasan ini masih mengakui adanya pemisahan antara "berkebudayaan" dengan "tidak berkebudayaan" atau kebudayaan "primitif."
Pada akhir abad ke-19, para ahli antropologi telah memakai kata kebudayaan dengan definisi yang lebih luas. Bertolak dari teori evolusi, mereka mengasumsikan bahwa setiap manusia tumbuh dan berevolusi bersama, dan dari evolusi itulah tercipta kebudayaan.
Pada tahun 50-an, subkebudayaan - kelompok dengan perilaku yang sedikit berbeda dari kebudayaan induknya - mulai dijadikan subyek penelitian oleh para ahli sosiologi. Pada abad ini pula, terjadi popularisasi ide kebudayaan perusahaan - perbedaan dan bakat dalam konteks pekerja organisasi atau tempat bekerja.
Kebudayaan sebagai mekanisme stabilisasi
Teori-teori yang ada saat ini menganggap bahwa (suatu) kebudayaan adalah sebuah produk dari stabilisasi yang melekat dalam tekanan evolusi menuju kebersamaan dan kesadaran bersama dalam suatu masyarakat, atau biasa disebut dengan tribalisme.
Ada tiga wujud kebudayaan, yaitu meliputi sebagai berikut.
• Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan lainnya. Wujud ini merupakan wujud ideal dari kebudayaan. Tempatnya ada di dalam kepala atau pikiran, atau bisa juga tertuang dalam tulisan-tulisan. Istilah lain yang lebih tepat untuk menggambarkan wujud ideal kebudayaan ini adalah adat atau adat istiadat.
• Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas dan tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. Wujud kebudayaan ini sering disebut juga sistem sosial atau social system, yakni tindakan berpola manusia itu sendiri. Sebagai rangkaian aktivitas manusia, sistem sosial atau wujud kebudayaan ini bersifat konkret atau nyata, terjadi setiap saat di sekitar kita, dapat diobservasi, dan dapat didokumentasikan.
• Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud kebudayaan ini sering disebut juga dengan kebudayaan fisik. Oleh karena sifatnya benda fisik, wujud ini sangat konkret, dapat diraba, dilihat, dan difoto. Misalnya, komputer, bangunan, dan pakaian.
Unsur-Unsur Budaya
Budaya sebagai hasil karya manusiasesungguhnya diupayakan untuk memenuhi unsur keindahan. Manusia sendiri memang suka dengan keindahan. Disinilah manusia berestetika dalam berbuday. Semua kebudayaan pastilah dipandang memiliki nilai-nilai estetik bagi masyarakat pendukung budaya tersebut. Hal-hal yang indahdan kesukaannya pada keindahandiwujudkan dengan menciptakan aneka ragam budaya.
Unsur bisa diartikan sebagai bagian terkecil dari suatu benda atau bagian-bagian yang membentuk sesuatu. Adapun budaya bisa diartikan sebagai pikiran atau akal budi.
Istilah budaya berasal dari kata Sanskerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti akal atau budi. Dengan demikian, budaya atau kebudayaan adalah hal-hal yang berkaitan dengan akal atau budi.
Istilah budaya dan kebudayaan ada sebagian yang mengartikan sama saja. Namun, sebagian yang lainnya membedakan kedua istilah tersebut. Kata budaya merupakan pengembangan dari budi-daya yang berarti daya dari budi.
Jadi, budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa, dan rasa. Sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, rasa, dan karsa itu.
Kebudayaan yang terdapat pada semua jenis masyarakat, baik masyarakat kota maupun pedesaan, baik masyarakat modern maupun masyarakat tradisional disebut unsur-unsur budaya universal.
Unsur-unsur budaya atau kebudayaan universal menurut C. Kluckhohn meliputi tujuh unsur pokok yang dimiliki setiap kebudayaan, yaitu sebagai berikut.
1. Bahasa
2. Sistem pengetahuan
3. Organisasi sosial
4. Sistem peralatan hidup dan teknologi
5. Sistem mata pencaharian hidup
6. Sistem religi
7. Kesenian
Setiap unsur budaya tersebut menjelma dalam tiga wujud kebudayaan, yaitu wujud gagasan, wujud sistem sosial, dan wujud kebudayaan fisik. Unsur budaya sistem religi misalnya. Dalam unsur budaya ini, terwujud sebagai sistem keyakinan, gagasan tentang Tuhan, gagasan tentang surga dan neraka.
Kemudian, ada juga wujud yang berupa upacara-upacara keagamaan atau pemujaan. Wujud ketiga dari unsur religi ini adalah adanya wujud kebudayaan fisik seperti bangunan-bangunan tempat ibadah.
Dalam wacana kebudayaan dan sosial, sulit untuk mendefinisikan dan memberikan batasan terhadap budaya lokal atau kearifan lokal, mengingat ini akan terkait teks dan konteks, namun secara etimologi dan keilmuan, tampaknya para pakar sudah berupaya merumuskan sebuah definisi terhadap local culture atau local wisdom ini. Sebagai sebuah kajian, kemudian saya pun mempelajari dan mencoba mengaitkannya pada konteks yang ada. Definisi budaya lokal yang pertama saya ambil adalah berdasarkan visualisasi kebudayaan ditinjau dari sudut stuktur dan tingkatannya. Berikut adalah penjelasannya :
1. Superculture, adalah kebudayaan yang berlaku bagi seluruh masyarakat. Contoh: kebudayaan nasional;
2. Culture, lebih khusus, misalnya berdasarkan golongan etnik, profesi, wilayah atau daerah. Contoh : Budaya Sunda;
3. Subculture, merupakan kebudyaan khusus dalam sebuah culture, namun kebudyaan ini tidaklah bertentangan dengan kebudayaan induknya. Contoh : budaya gotong royong
4. Counter-culture, tingkatannya sama dengan sub-culture yaitu merupakan bagian turunan dari culture, namun counter-culture ini bertentangan dengan kebudayaan induknya. Contoh : budaya individualisme
Dilihat dari stuktur dan tingkatannya budaya lokal berada pada tingat culture. Hal ini berdasarkan sebuah skema sosial budaya yang ada di Indonesia dimana terdiri dari masyarakat yang bersifat manajemuk dalam stuktur sosial, budaya (multikultural) maupun ekonomi.
Jacobus Ranjabar mengatakan bahwa dilihat dari sifat majemuk masyarakat Indonesia, maka harus diterima bahwa adanya tiga golongan kebudayaan yang masing-masing mempunyai coraknya sendiri, ketiga golongan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kebudayaan suku bangsa (yang lebih dikenal secara umum di Indonesia dengan nama kebudayaan daerah)
2. Kebudayaan umum lokal
3. Kebudayaan nasional
Dalam penjelasannya, kebudayaan suku bangsa adalah sama dengan budaya lokal atau budaya daerah. Sedangkan kebudayaan umum lokal adalah tergantung pada aspek ruang, biasanya ini bisa dianalisis pada ruang perkotaan dimana hadir berbagai budaya lokal atau daerah yang dibawa oleh setiap pendatang, namun ada budaya dominan yang berkembang yaitu misalnya budaya lokal yang ada dikota atau tempat tersebut. Sedangkan kebudayaan nasional adalah akumulasi dari budaya-budaya daerah.
Definisi Jakobus itu seirama dengan pandangan Koentjaraningrat. Koentjaraningrat memandang budaya lokal terkait dengan istilah suku bangsa, dimana menurutnya, suku bangsa sendiri adalah suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan ’kesatuan kebudayaan’. Dalam hal ini unsur bahasa adalah ciri khasnya.
Pandangan yang menyatakan bahwa budaya lokal adalah merupakan bagian dari sebuah skema dari tingkatan budaya (hierakis bukan berdasarkan baik dan buruk), dikemukakan oleh antropolog terkemuka diIndonesia yang beretnis Sunda, Judistira K. Garna.
Menurut Judistira ,kebudayaan lokal adalah melengkapi kebudayaan regional, dan kebudayaan regional adalah bagian-bagian yang hakiki dalam bentukan kebudayaan nasional.
Lebih lanjut, mengenai budaya lokal dan budaya nasional, Judistira mengatakan bahwa dalam pembentukannya, kebudayaan nasional memberikan peluang terhadap budaya lokal untuk mengisinya. Adapun definisi budaya nasional yang mempunyai keterkaitan dengan budaya lokal adalah sebagai berikut:
1. Kebudayaan kebangsaan (kebudayaan nasional) berlandaskan kepada puncak-puncak kebudayaan daerah,
2. Kebudayaan kebangsaan ialah gabungan kebudayaan daerah dan unsur-unsur kebudayaan asing,
3. Kebudayaan kebangsaan menurut rekayasa pendukung kebudayaan dominan melalui kekuasaan politik dan ekonomi: dan
4. Kebudayaan kebangsaan dibentuk dari unsur-unsur kebudayaan asing yang modern dalam mengisi kekosongan dan ketidaksepakatan dari berbagai kebudayaan daerah (Judistira, 2008:41)
Pembatasan atau perbedaan antara budaya nasional dan budaya lokal atau budaya daerah diatas menjadi sebuah penegasan untuk memilah mana yang disebut budaya nasional dan budaya lokal baik dalam konteks ruang, waktu maupun masyarakat penganutnya.
Dalam pengertian yang luas, Judistira mengatakan bahwa kebudayaan daerah bukan hanya terungkap dari bentuk dan pernyataan rasa keindahan melalui kesenian belaka; tetapi termasuk segala bentuk, dan cara-cara berperilaku, bertindak, serta pola pikiran yang berada jauh dibelakang apa yang tampak tersebut.
Wilayah administratif tertentu, menurut Judistira bisa merupakan wilayah budaya daerah, atau wilayah budaya daerah itu meliputi beberapa wilayah administratif, ataupun disuatu wilayah admisnistratif akan terdiri dari bagian-bagian satu budaya daerah.
Wilayah administratif atau demografi pada dasarnya menjadi batasan dari budaya lokal dalam definisinya, namun pada perkembangannya dewasa ini, dimana arus urbanisasi dan atau persebaran penduduk yang cenderung tidak merata, menjadi sebuah persoalan yang mengikis definisi tersebut.
Dalam pengertian budaya lokal atau daerah yang ditinjau dalam faktor demografi dengan polemik di dalamnya, Kuntowijoyo memandang bahwa wilayah administratif antara desa dan kota menjadi kajian tersendiri. Dimana menurutnya, kota yang umumnya menjadi sentral dari bercampurnya berbagai kelompok masyarakat baik lokal maupun pendatang menjadi lokasi yang sulit didefinisikan. Sedangkan di wilayah desa, sangat memungkinkan untuk dilakukan pengidentifikasian.
Dikota-kota dan di lapisan atas masyarakat sudah ada yang kebudayaan nasional, sedangkan kebudayaan daerah dan tradisional menjadi semakin kuat bila semakin jauh dari pusat kota. Sekalipun inisiatif dan kreatifitas kebudayaan daerah dan tradisional jatuh ke tangan orang kota, sense of belonging orang desa terhadap tradisi jauh lebih besar.
Dalam pengkritisan definisi yang berdasarkan pada konteks demografi ini, Irwan Abdullah memberikan pandangannya :
Etnis selain merupakan konstruksi biologis juga merupakan konstruksi sosial dan budaya yang mendapatkan artinya dalam serangkaian interaksi sosial budaya. Berbagai etnis yang terdapat diberbagai tempat tidak lagi berada dalam batas-batas fisik (physical boundaries) yang tegas karena keberadaan etnis tersebut telah bercampur dengan etnis-etnis lain yang antar mereka telah membagi wilayah secara saling bersinggungan atau bahkan berhimpitan.
Walaupun adanya interaksi antara budaya pendatang dan masyarakat lokal, pada hakekatnya definisi budaya lokal berdasarkan konteks wilayah atau demografis pada hakekatnya tetap masih relevan walaupun tidak sekuat definisi pada konteks suku bangsa. Hal ini seperti yang dikatakan Irwan Abdullah selanjutnya :
Keberadaan suatu etnis disuatu tempat memiliki sejarahnya secara tersendiri, khususnya menyangkut status yang dimiliki suatu etnis dalam hubungannya dengan etnis lain. Sebagai suatu etnis yang merupakan kelompok etnis pendatang dan berinteraksi dengan etnis asal yang terdapat disuatu tempat, maka secara alami akan menempatkan pendatang pada posisi yang relatif lemah.
Merujuk pada beberapa pandangan sejumlah pakar budaya dan atau antropolog diatas, maka penulis menyimpulkan bahwa budaya lokal dalam definisinya didasari oleh duafaktor utama yakni faktor suku bangsa yang menganutnya dan yang kedua adalah faktor demografis atau wilayah administratif.
Namun, melihat adanya polemik pada faktor demografis seiring dengan persebaran penduduk, maka penulis akan lebih menekankan definisi budaya lokal sebagai budaya yang dianut suku bangsa, misalnya BudayaSunda (budaya lokal) adalah budaya yang dianut oleh Suku Bangsa Sunda, hal ini bisa ditentukan oleh minimal bahasa yang digunakan.
Beberaapa definisi kebudayaan yang telah di kemukakan oleh para ahli, contohnya adalah sebagai berikut:
a. Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turu-temurun dari satu generasi ke generasi lain, yang kemudian di sebut sebagai superorganik.
b. Andeas Eppink menyatakan bahwa kebudayaan mengadung keseluruha pengartian, nilai, norma, ilmu pengetahuan, serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, ditambah lagi dengan segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
c. Edward B. Taylor mengemukakan bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hokum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
d. Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi mengatakan kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
e. Koentjaraningrat berpendapat bahwa kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakan dengan belajar besrta dari hasil budi pekertinya.
Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan sebagai system pengetahuan yang meliuti sistem idea tau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedngkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola periaku, bahasa,peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain,yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.

Beberapa Masalah Dalam Budaya
Salah satu masalah dalam budaya adalah perubahan oleh arus globalisasi. Dari kemajuan arus globalisasi ini mengakibatkan:

1. Menggeser Pola Hidup Masyarakat.

Dari agraris tradisional menjadi masyarakat industri modern. Dari kehidupan berasaskan kebersamaan, kepada kehidupan individualis. Dari lamban kepada serba cepat. Dari berasas nilai sosial menjadi konsumeris materialis. Dari tata kehidupan tergantung dari alam kepada kehidupan menguasai alam. Dari kepemimpinan formal kepada kepemimpinan kecakapan (profesional).

2. Pertumbuhan Ekonomi. Globalisasi bergerak
kesana kemari. Tidak samata satu arah. Hala atau arahnya akan menyangkut langsung kepentingan sosial pada masing-masing negara. Keberbagaian atau keragaman yang berlaku selama ini berkesempatan untuk berubah bentuk menjadi seragam dan serupa. Atau berlainan wadah serupa isi. Masing-masing negara (bangsa, nation) akan berjuang memelihara kepentingannya sendiri- sendiri. Kecenderungan sikap kurang memperhatikan nasib negara-negara lain akan merupakan kewajaran saja. Kecenderungan ini berpeluan melahirkan kembali "Social Darwinism", secara konseptual didalam persaingan bebas bentuk apapun, yang kuat akan bisa bertahan dan yang lemah akan mati sendiri (Wardiman, 1997).
DAMPAK GLOBALISASI
Globalisasi membawa banyak tantangan baik itu menyangkut bidang sosial, budaya, ekonomi, politik, bahkan menyangkut semua aspek kehidupan manusia. Namun, globalisasi juga menjanjikanharapan-harapan dan kemajuan. Diantara harapan dan kemajuan yang menjanjikan, adalah pertumbuhan ekonomi yang pesat, pada negara-negara yang rajin dan bersungguh-sungguh. Pertumbuhan ekonomi adalah alat untuk menciptakan kemakmuran masyarakat, termasuk bagi bangsa Indonesia sebagai bagian dari Asia Tenggara. Sebelum terjadinya krisis ekonomi 1997 -dampaknya masih terasa hingga hingga sekarang --, dalam tiga dasawarsa (1967- 1997) beberapa negara dikawasan serumpun Asean telah menikmati pertumbuhan ekonomi pesat.
Bank Dunia menyebut beberapa negara dikawasan ini sebagai "The Eight East Asian Miracle", yang tumbuh menjadi macan Asia diantaranya Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Hong Kong, Thailand, Singapura, Malaysia.
Dibidang ekonomi ini, negara-negara Asean menikmati pertumbuhan rata-rata 7-8 % pertahun waktu itu, sementara Amerika dan Uni Eropa hanya berkesempatan menikmati tingkat pertumbuhan ekonomi rata-rata 2,5 sampai 3 % pertahun.Pertambahan penduduk Asean sekitar 350 juta, bisa saja bertambah banyak ditahun 2003 saat memasuki AFTA. Populasi itu diperkirakan akan mencapai jumlah yang besar, mungkin 500 juta (Adi Sasono, Cides, 1997). Bila pertumbuhan ekonomi ini dapat dipelihara, maka pada tahun 2019, saat skenario APEC, maka kawasan ini akan menguasai 50,7 % kekayaan dunia. Kemungkinan sekali, Amerika dan Uni Eropa hanya 39,3% dan selebihnya 10 % dikuasai Afrika dan Amerika Latin (Data Deutsche Bank, 1994). Apa artinya semua ini? Kita akan menjadi pasar raksasa yang akan diperebutkan oleh orang-orang di sekeliling. Pertumbuhan ekonomi itu tidak bertahan lama. Beberapa negara menjadi lumpuh berhadapan dengan multi krisis tersebab fondasinya tidak mengakar dan ketahanan umatnya lemah. Lanjutannya, maka bangsa serumpun akan berhadapan dengan "Global Capitalism". Kalau kita tidak hati-hati keadaan ini akan bergeser menjadi "Capitalism Imperialism" menggantikan "Colonialism Imperialis" yang sudah kita halau sejak lebih setengah abad silam. Dengan "Capitalism Imperialism" kita akan terjajah di negeri sendiri tanpa kehadiran fisik si penjajah. Globalisasi membawaperubahanperilaku, terutama pada generasi muda (para remaja).

Semakin berkembangnya globalisasi bisa menimbulkan masalah. Masyarakat penerima akan kehilangan nilai-nilai budaya lokal sebagai akibat kuatanya budaya asing yang masuk. Contoh globalisasi budaya yang bersumber dari kebudayaan barat pada era sekarang ini adalah masuknya nilai-nilai budaya global yang dapat memberi dampak negatif bagi perilaku sebagian masyarakat Indonesia. Misalnya, pola hidup konsumtif, hedonisme, pragmatis, dan individualistik. Akibatnya nilai budaya bangsa seperti rasa kebersamaan dan kekeluargaan lambat laun bisa hilang dari masyarakat Indonesia.
Dalam suatu kasus, ditemukan generasi muda menolak budaya yang hendak diwariskan oleh generasi pendahulunya. Budaya itu dianggap tidak lagi sesuai dengan kepentingan hidup generasi tersebut, bahkan dianggap bertolak belakang dengan nilai-nilai budaya baru yang diterima sekarang ini. Perubahan kebudayaan yang terjadi ini sebagai akibat adanya ketidaksesuaian di antara unsur-unsur budaya yang saling berbeda, sehingga terjadi keadaan yang fungsinya tidak serasi bagi kehidupan. Perubahan kebudayaan mencakup banyak aspek, baik bentuk, sifat perubahan, dampak perubahan, dan mekanisme yang dilaluinya. Perubahan kebudayaan di dalamnya mencakup perkembangan kebudayaan. Pembangunan dan modernisasi termasuk pula perubahan kebudayaan.
Perubahan kebudayaan yang terjadi bisa mengakibatkan perubahan yang akan merugikan manusia jika perubahan itu bersifat regress (kemunduran) bukan progress (kemajuan); perubahan bisa berdampak buruk atau menjadi bencana jika dilakukan melalui revolusi, berlangsung cepat, dan diluar kendali manusia.



C. Penutup
Budaya atau kebudayaan adalah hasil cipta, rasa, dasn karsa manusia. Manusia yang beretika akan menghasilkan budaya yang memiliki nilai-nilai etika pula. Etika berbudaya mengandung tuntutan/keharusan bahwa budaya yang diciptakan manusia mengandung nulai-nilai etik yang kurang lebih bersifat universal atau diterima sebagian besar orang. Budaya yang memiliki nilai-nilai etik adalah baudaya yang mampu menjaga, mempertahankan, bahkan mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia itu sendiri. Sebaliknya, budaya yang tidak beretika adalah kebudayaan yang akan merendahkan atau bahkan menghancurkan martabat kemanusiaan.
Namun demikian, menentukan apakah suatu budaya yang dihasilkan manusia itu memenuhi nilai-nilai etik ataukah menyimpang dari nilai etikaadalah bergantung dari paham atau ideologi yang diyakini masyarakat pendukung kebudayaan. Hal ini dikarenakan berlakunya nilai-nilai etik bersifat universal, namun amat dipengaruhi oleh ideologi masyarakatnya.



Kesimpulan
Kebudayaan yang diciptakan manusia dalam kelompok dan wilayah yang berbeda-beda menghasilkan karagaman kebudayaan. Tiap persekutuan hidup manusia (masyarakat, suku, atau bangsa) memiliki kebudayaannya sendiri yang berbeda dengan kebudayaan kelompok lain. Kebudayaan yang dimiliki sekelompok manusia membentukciri dan menjadi pembeda dengan kelompok lain. Dengan demikian, kebudayaan merupakan identitas dari persekutuan hidup manusia.









DAFTAR PUSTAKA

Edgar Degas."kebudayaan tingkat tinggi" (High Culture).
http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya Minggu 9-1-2011
Drs. Herimanto, M.Pd., M.Si.2009. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta Timur:
PT Bumi Aksara.
Winarno, S.Pd., M.Si. 2009. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta Timur:
PT Bumi Aksara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar